Selasa, 30 Juli 2013

Karya-Karya Seni Kolase Dewa Made Karang

Kolase merupakan cabang seni rupa, yang berupaya menciptakan sebuah citra melalui beberapa material yang dikombinasikan menjadi satu. Upaya itu bisa dengan cara memotong ataupun merekatkan satu material dengan material lain sehingga membentuk sebuah citra baru.


Who Dies First? Who Laugh Last?




Kolase ini saya beri judul "who dies first? who laughs last?" kutipan dari seniman feminist avant garde Barbara Kruger. Inspirasi kolase ini datang setelah mendengar ejekan Krist Novoselic (pemain bass Nirvana) terhadap Perang Teluk pertama.









 Pennyroyal Tea


"Pennyroyal Tea", salah satu lagu Nirvana, menjadi judul yang saya pilih sebagai bentuk plesetan "penny royalties: receh-receh royalti". Terinspirasi oleh fenomena dunia kerja dan sistem upah dalam masyarakat.

















Siapa Menanam Kontradiksi, Akan Menuai Kontroversi



Padanan foto Courtney Love dan Kurt Cobain merupakan rangkaian dari imajinasiku untuk menggambarkan peluang konspirasi pembunuhan dibalik kematian Kurt Cobain yang melegenda itu.



 
Mayday dan May Day


"Mayday dan May Day" merupakan salah satu karya yang lagi-lagi terinspirasi oleh dunia kerja dan sistem upah


















Penulis adalah aktivis media alternatif gratis di skena hardcore punk Kota Palembang, yang tertarik pada dadaisme, seni kolase, bir dan radiohead. Saat ini menjadi pewarta ekonomi bagi Majalah Kinerja Bank di Palembang. 

Upacara Tiwah

Jazzchy Dayun Marie


Upacara Tiwah adalah upacara terakhir umat Karahingan di Kalimantan Tengah






Foto: Jazzchy Dayun Marie

Upacara ini wajib dilakukan bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga yang sudah meninggal, terkecuali yang berusia di bawah lima tahun, tetap diikutkan pada tiwah tanpa syarat





Lebih dikenal sebagai Jazzchy Dayun Marie, wartawan Harian Radar Sampit yang menyukai fotografi, menulis, teater, dan travelling.







Cerita Tentang Noken Papua

Hanas Warpur


Berbagai jenis karya budaya anak Papua yang kini masih dipertahankan
sebagai budaya orang asli Papua.


foto: bayumaitra.net


Sejarah panjang tentang noken (nama lain dari tas) mendorong tumbuhnya hubungan antar orang Papua. Seperti sikap kemandirian, kebiasaan tolong menolong. Noken dimaknai juga sebagai ”rumah berjalan” berisi segala kebutuhan. Apalagi ketika masyarakat Papua yang bertani pulang dari perkebunan mereka. Di dalam noken ini, berisikan hasil perkebunan yang dipanen. Di samping itu, noken dianggap sebagai simbol kesuburan perempuan, kehidupan yang baik, dan perdamaian. Di berbagai suku di Papua, noken menunjukkan status sosial pemakainya. Orang terkemuka dalam masyarakat, misalnya kepala suku, kadang-kadang memakai noken dengan
pola dan hiasan khusus. Noken sebagai simbol wanita Papua

“Nak, kalau besok mau pergi ke tanah Jawa, ingat, jangan lupa noken. Kebun biar besar dan hasil banyak, tapi kalo tidak pake noken isi hasil kebun, nanti banyak yang tertinggal busuk dan babi makan yang sisa karena tidak bisa muat semua. Kalau tas jahitan dari benang, tidak bisa muat, sebab nanti robek. Kalo tas sudah robek, nanti tidak ada tali hutan yang bisa pake jahit, terpaksa harus di buang. Noken kuat, noken mampu, dan kalau putus walau jarang, sudah pasti ada tali hutan yang
bisa dipakai menjahit,” ujar seorang anak Papua.

"Sementara di rumah yang penuh asap ini disebut  'rumah kaki seribu', kita sama-sama makan dan tidur disini. Noken semakin terkena asap, dia akan semakin kuat. Kalau tas, nanti makin kering dan cepat robek. Anak ada disini, belum punya kebun dan hasil kebun jadi cari noken sudah. Biar pake isi air dan makanan untuk anak pake bongkar kebun," ujar anak asli Papua. 

Noken menjalin hubungan cinta kasih antara orang tua dan anak, seorang anak akan mengingat kembali masa kecilnya ketika sebuah noken menjadi bagian dalam kehidupannya. “Siapa yang mencintai budayanya, maka ia akan lebih menghargai masyarakatnya sendiri karena dia lahir dari sebuah peradaban".

Tas bagi sebagian orang khususnya wanita, merupakan suatu kebutuhan tersendiri. Begitu pula bagi masyarakat Papua. ‘tas noken’ merupakan tas asli buatan wanita Papua. Tas Noken tradisional ini memiliki simbol kehidupan yang baik, perdamaian dan kesuburan bagi masyarakat di tanah Papua, terutama kebanyakan di daerah pegunungan puncak seperti Damal, Suku Yali, Dani, Suku lani dan Bauz. Dahulu noken ini dibuat karena suku Papua membutuhkan sesuatu yang dapat memindahkan barang ketempat yang lain. 

Noken terbuat dari bahan kayu pohon manduam, pohon nawa/anggrek hutan. Masyarakat Papua biasanya menggunakan noken untuk bermacam-macam kegiatan. Noken yang berukuran besar dipakai untuk membawa barang seperti kayu bakar, tanaman hasil panen, barang-barang belanjaan atau bahkan digunakan untuk membawa barang-barang pribadi. Berbeda dengan tas wanita di zaman sekarang dimana tas bahkan hanya dijadikan fashion semata. Membuat noken tidak cukup rumit karena tidak menggunakan mesin. Kayu tersebut diolah, dikeringkan dan kemudian dipintal menjadi benang. Variasi warna pada noken dibuat dari pewarna alami. Proses pembuatannya, mencapai satu sampai dengan dua minggu untuk noken yang berukuran kecil, sedangkan noken yang berukuran besar biasanya mencapai tiga minggu. 

Di daerah Sauwadarek, Papua, masih bisa ditemukan pembuatan noken secara langsung. Harga noken disana relatif murah antara Rp. 25.000,- perbuah tergantung jenis dan ukurannya. Menariknya dari noken ini hanya orang Papua saja yang boleh membuat noken. Mebuat noken dahulu, melambangkan kedewasaan bagi si perempuan. Karena jika perempuan Papua belum bisa membuat Noken, dia belum bisa dianggap dewasa, dan itu merupakan syarat untuk menikah. Tapi, sekarang para wanita di Papua sudah jarang yang bisah membuat noken padahal itu merupakan warisan budaya Papua. Menariknya, dari tas noken ini adalah dari cara menggunakannya. Tas ini digunakan di kepala dan sama dengan tas pada umumnya, tas ini digunakan untuk mebawah barang-barang kebutuhan sehari-hari. 

Selain itu, keunikan noken lainnya adalah difungsikan sebagai hadiah kenang-kenangan untuk tamu dan dipakai dalam upacara adat. Karena keunikan noken seperti disebutkan di atas, noken ini didaftarkan ke UNESCO sebagai salah satu hasil karya tradisional dan warisan kebudayaan dunia. Pada, 6 Desember 2012 lalu, noken khas masyarakat Papua ditetapkan sebagai warisan kebudayaan tak benda UNESCO. Pengakuan UNESCO ini, akan mendorong upaya melindungi dan mengembangkan warisan budaya noken yang dimiliki oleh lebih dari 250 suku bangsa di Provinsi Papua, dan Papua Barat. [***]



Hanas Warpur lahir di Papua dan kini menjadi pewarta di Tabura Pos di Manokwari. Penggemar olahraga sepakbola dan renang yang menaruh perhatian pada kebudayaan lokal.



Senin, 29 Juli 2013

Suara-Suara yang Lahir dari Jalanan

Merebut Kembali Definisi Punk

 Dewa Made Karang Mahardika

(Menanggapi isu rancangan peraturan daerah oleh pemerintah kota Palembang tentang penertiban punk, dan didedikasikan bagi scene tercinta.)

"Aku menentang imej yang mereka harap aku menjadi seperti apa."--Symbols (1995), Refused.
 

 

Setiap orang tentu memiliki definisinya sendiri untuk menerjemahkan punk, bahkan bagi individu-individu yang memilih untuk menjadikan punk sebagai jalan hidupnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa punk lahir sebagai bentuk penolakan sekelompok kecil masyarakat dalam melawan kultur dominan. Di era awal kelahiran di negeri asalnya Inggris, punk lebih sebagai subkultur yang mengadopsi Situasionis Internasional—grup gerakan seni radikal—dalam menentang budaya kemapanan yang dikukuhkan oleh moralitas masyarakat. Mereka berusaha keluar dari konstruksi budaya massa melalui alternatif-alternatif yang coba mereka buat sendiri, menciptakan fashion, membuat lagu, mencetak poster, membuat media dan membangun jejaring sesama komunitas. Singkatnya, mereka mencoba membangun sebuah ruang budaya otonom. Lantas, dari sebuah subkultur yang berupaya melawan etika dan budaya induknya melalui budaya tandingan atau alternatif, punk berkembang menjadi sebuah kritik tidak hanya pada kultur utamanya—yang kala itu disimbolkan pula oleh industri rekaman musik besar—melainkan juga pada otoritas negara dan kondisi sosial yang terjadi. Punk menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari gerakan politis feminisme, aktivisme literasi, environmentalis, anti rasis, anti perang, anti neoliberalisme, perjuangan hak-hak kaum buruh, perlindungan satwa, pendistribusian makanan gratis, dan berbagai bentuk aksi memerangi ketidakadilan, baik yang dituangkan dalam bentuk lirik lagu, esai, ataupun aksi-aksi langsung tanpa menjadi bagian kompromis dari partai politik dan lembaga swadaya masyarakat manapun. Mereka lebih memilih membentuk grup-grup resistensi kecil berprinsip egaliter dan konsensus yang tidak bergantung pada seberapa besar jumlah anggota dalam grup, namun lebih bersandar pada partispasi aktif tiap personilnya.

 

Lantas bagaimana dengan Palembang? Kota merupakan penampung beragam budaya yang tidak cuma berdiri pada ranah ketradisionalan semata. Dan sebagai kota yang berkembang pesat, tidaklah aneh bila Palembang menjadi bagian dari tumbuhnya punk secara dinamis sama halnya dengan kota-kota lain di Indonesia. Di Palembang, kaum ini mulai terlihat gejala kelahirannya di akhir 90-an hingga awal milenium. Masa transisi ini merupakan saat-saat yang begitu sulit untuk mereka lewati. Meski tidak membutuhkan sebuah pengakuan akan eksistensinya, khalayak umum belum mendapatkan definisi yang tepat untuk menamai sekelompok pemuda berdandan aneh yang saat itu kerap bergerombol di belakang pusat pertokoan di bilangan jalan Kolonel Atmo Palembang ini. Berbeda sekali dengan satu dekade lebih setelahnya, di saat media telah dengan masif membuat beragam pemberitaan tentangnya seperti sekarang, dan berhasil memberi pemahaman kepada masyarakat tentang pendefinisan itu meskipun mungkin sebatas kulit luarnya saja. Meskipun berulangkali wacana tentang asal-usul punk telah menjadi kajian sosial budaya, hingga saat ini masyarakat umum—sebagai hakim mayoritas yang memiliki penilaian baik dan buruknya sesuatu—lebih berada di sisi yang melihat punk tidak lebih dari sekumpulan pembuat onar dan sampah masyarakat yang mengalami disorientasi arah dan perlu untuk diluruskan.

Di Indonesia sendiri, di awal hingga pertengahan 90-an, punk mulai diadopsi oleh kaum muda kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Jogjakarta. Ia tidaklah lahir dari bagian terbawah kelas sosial seperti di negeri asalnya, tapi justru  diapresiasi oleh masyarakat lapisan ekonomi menengah. Di sini, Punk dianggap mampu memediasi penolakan mereka terhadap pendisiplinan yang dilakukan oleh keluarga dan sekolah, serta dirasa merupakan bentuk penolakan ketertundukan pada nilai-nilai dalam masyarakat, yang disuarakan melalui studio-studio musik dan panggung-panggung kecil, juga divisualisasi secara simbolik melalui seni tato dan body piercing. Budaya literasi melalui terbitan-terbitan komunitas (zine) yang merupakan media komunikasi perlahan mulai terbangun. Informasi-informasi seputar agenda komunitas, rilisan album dan profil band-band didapat dari media ini. Gejolak ekonomi dan politik di Indonesia di akhir 90-an turut membentuk aura politis dalam komunitas punk yang mulai memposisikan peran mereka dalam budaya perlawanan. Seperti halnya musik, para editor zine dalam komunitas ini menggunakan zine sebagai sarana alternatif penyampai gagasan-gagasan ideologis terutama yang tidak mendapat tempat di media arus utama. Disinilah komunitas ini mendapat pendidikan politik khas jalanan.

Sejak sistem jual beli menjadi panutan dunia modern dan berkembang menjadi sebuah ideologi yang mendominasi dalam bentuk konsumerisme, setiap hal dikomodifikasi tidak terkecuali punk. Konsumerisme melahirkan sebuah budaya palsu yang menjadikan dunia berisi manusia-manusia pasif melalui keseragaman yang mereka ciptakan, dan memposisikan manusia hanya sebagai penonton. Kapitalisme menciptakan dunia konsumsi yang mengerdilkan keberdayaan manusia dengan membuat sebuah pola seolah-seolah segala sesuatu bisa diselesaikan hanya dengan uang dan produk-produk yang mereka tawarkan. Setelah berhasil menjual simbol-simbol pemberontakan dan membangun tren semangat kebebasan yang diwakili oleh citra semisal Che Guevara dan Bob Marley, pihak industri melihat punk sebagai sebuah produk yang berdaya besar untuk dijual. Punk digiring ke dalam arus utama bagian spektakuler budaya pop.

Sebagai khalayak yang hidup dalam aura konsumerisme, masyarakat terutama kaum pemuda menjadikan punk sebagai sebuah citra diri bahkan tanpa mereka mengenal lebih jauh tentang apa dan bagaimana punk itu sebetulnya. Realitas yang didapat secara instan ini menjerat pemahaman individu-individu yang terjebak dalam dekadensi tentang makna anti kemapanan. Menggelandang di jalanan dipahami sebagai salah satu bentuk anti kemapanan, meski sebenarnya leluhur punk semisal Crass, Discharge dan lain-lain justru melihat anti kemapanan sebagai negasi terhadap norma-norma hasil dari logika formal masyarakat. Seperti apa yang diteriakkan oleh Crass dalam lagu mereka berjudul Punk Is Dead: "Punk menjadi tren seperti halnya kaum hippy dulu!" Perlahan punk menemukan kontradiksinya sendiri: ia menjadi sebuah identitas.

Do It Yourself dan Do It With Your Friends

Jauh hari setelah badai sistem ekonomi pasar yang dilegitimasi oleh negara menghajar, pada hakekatnya kaum punk memiliki sebuah filosofi kemandirian yang dikenal dengan istilah Do It Yourself. Dalam terjemahan bebas, Do It Yourself (DIY) bermakna melakukan atau mengerjakan sendiri sesuatu, atau lebih sederhananya lagi, DIY berarti semangat dan praktek kemandirian dalam melakukan apa saja yang diinginkan oleh seorang individu. DIY lahir sebagai sebuah konsep kesadaran individual  yang tidak sepakat dengan kerja-kerja formal, dan juga untuk meredam bahkan meniadakan ketergantungan manusia dengan produk atau barang-barang yang diperjualbelikan. Dalam perjalanan panjang punk, DIY menjadi semangat yang tak terlepaskan dari aksi keseharian mereka dengan berpandangan bahwa setiap individu berhak berimajinasi dan mewujudkan impiannya. Bila punk merupakan protes terhadap kontrol ekonomi pasar dan kondisi sosial yang terjadi, maka DIY adalah metode alternatifnya. Keduanya merupakan ketidakpuasan terhadap kondisi dunia yang membosankan dan kritik terhadap budaya dominan yang menuntut keseragaman.


DIY merupakan sebuah jawaban atas kebebasan ide dari keinginan yang senantiasa terkurung dan dihakimi oleh pendapat mayoritas, dan sebuah cerminan bahwa setiap individu berhak atas alat-alat produksi dan berpartisipasi pada prosesnya sehingga berhak memutuskan minat dan kebutuhan apa yang hendak dikonsumsi tanpa menghapuskan kesenangan-kesenangan individual didalamnya. Intinya tidak ada keterpaksaan yang membatasi saat menjalani sebuah pilihan. Batasan-batasan itu justru melenyap ketika setiap orang menyadari potensi yang ada didalam dirinya, dan menomorduakan titik pencapaian atau hasil, tetapi lebih menikmati proses yang mesti dijalani.

DIY tidak berarti setiap individu melakukan segala sesuatunya sendiri-sendiri. Peran orang-orang terutama dalam komunitas saling berkaitan. Berbeda dengan dunia komodifikasi yang membuat jarak dan memisahkan antara penjual dan pembeli, DIY justru menjadi media yang mempererat pertemanan dalam komunitas. Ini diwujudkan seperti ketika beberapa individu merintis sebuah band lalu memproses rekaman secara independen, mengorganisir sebuah pertunjukan musik atau saling bertukar rekaman dan informasi-informasi melalui workshop bersama. Di sini lah jejaring mutual itu terbangun untuk dapat saling melengkapi kebutuhan masing-masing. Katakanlah seseorang memproduksi pin, lalu distro (distributor outlet) individu lain yang mendistribusikannya. Atau ketika seorang individu lebih suka mendesain tas, mengajak individu lain yang lebih suka menjahit. Atau ketika seorang individu membuat komik dan ingin mentranslitnya ke dalam bahasa Inggris tapi mengalami keterbatasan dipersoalan bahasa, ia bisa meminta bantuan pada individu lain yang memiliki kemampuan untuk itu tanpa lantas selamanya menggantungkan diri padanya. DIY merupakan media antar individu dan grup untuk dapat saling belajar dan bekerjasama tanpa harus bergantung pada apapun, karena sikap ketergantungan ini yang seringkali menjadi penghambat dalam melakukan dan mengerjakan sesuatu.

Bila dulu hidup di jalan-jalan dikarenakan tekanan ekonomi yang meniadakan pilihan lain selain opsi tersebut, maka kini hedonisme di jalanan merupakan sebuah pilihan yang bebas untuk dilakukan bagi siapapun, namun tetap menjadi masalah—bahkan bagi kalangan punk itu sendiri—bila lantas menjadi pengganggu kenyamanan manusia sekitarnya. Punk merupakan fenomena sosial yang tidaklah misterius dan tidak sulit untuk dipetakan akar permasalahannya. Disini terlihat, bahwa selama penindasan dan ketidakadilan tetap eksis di muka bumi, maka selama itu pula punk tidak akan pernah terkubur.

 

Penulis adalah aktivis media alternatif gratis di skena hardcore punk Kota Palembang, yang tertarik pada dadaisme, seni kolase, bir dan radiohead. Saat ini menjadi pewarta ekonomi bagi Majalah Kinerja Bank di Palembang. 

 

 


Perempuan + Amarah = Kekuatan

Analisa Gender pada Lagu Ismail Marzuki

Dewa Made Karang Mahardika
 

Kolase: Dewa Made Karang Mahardika


Diciptakan alam pria dan wanita
Dua makhluk jaya asuhan dewata
 

Ditakdirkan bahwa pria berkuasa
Adapun wanita lemah lembut manja


Wanita dijajah pria sejak dulu
Dijadikan perhiasan sangkar madu


Namun ada kala pria tak berdaya
Tekuk lutut disudut kerling wanita


Saya percaya, bahwa dasar Ismail marzuki tatkala menulis lagu ini berdasarkan intuisinya terhadap teori penciptaan Adam dan Hawa, yang dipercaya sebagai sepasang manusia pertama di muka dunia, seperti yang tersangkut di baris lirik, “Diciptakan alam pria dan wanita, dua makhluk jaya asuhan dewata.” Merunut sejarah jauh ke belakang, peran laki-laki dan perempuan berada dalam kesetaraan. Dengan asumsi naluri hewani bahwa siapapun dan apapun jenis kelaminnya, yang memperoleh sumber nutrisi maka dia yang berhak membagikannya. Tapi asumsi ini juga melihat fakta metode hidup berkelompok yang dilakukan oleh masyarakat pra agrikultur yang sangat mungkin memiliki strategi-strategi dalam pertahanan hidup dan mengolah sumber daya yang dilakukan secara koperatif.

Cikal bakal dominasi laki-laki bermula sejak berlakunya sistem kepemilikan yang ditandai dengan penguasaan lahan-lahan pertanian dari kaum-kaum pencocok tanam oleh kaum pemburu nomaden. Kaum pencocok tanam pula awalnya merupakan bagian dari kelompok-kelompok kecil yang acap berpindah dari satu tempat ke tempat lain mengikuti pola migrasi binatang buruan yang menjadi sumber utama makanan mereka. Krisis ekologi saat itu, yang ditandai dengan kondisi suhu panas dan dingin yang labil alias tidak konstan, menjadi salah satu penyebab kelaparan penghuni awal planet ini. Mereka yang tidak bisa beradaptasi menemui ajal. Sementara, sisanya mesti mencari tempat bernaung yang baru. Adaptasi yang saya maksud disini, beberapa dari kelompok manusia purba pada saat mulai menganalisa alam raya. Menaksir arah perpindahan binatang buruan, mempelajari siklus pertumbuhan tanaman umbi-umbian dan mengatur persediaan makanan termasuk mengurung anak dari binatang buruan. Untuk itu mereka harus menetap di satu tempat. Kemampuan ini juga diringi dengan kemajuan pada alat-alat yang digunakan untuk melakukan perburuan. Dari batu dan kayu, menjadi logam, yang kelak juga menjadi senjata penundukan antar kelompok. Di masa ini, belum terlihat adanya gejala dominasi gender.

Analisa sederhana saya, siapa sangka bahwa dominasi ini justru kelak terbentuk oleh pendefinisian kerja secara seksual yang awalnya merupakan pembagian peran dan tanggung jawab: laki-laki berburu, perempuan menjaga ladang dan memomong anak-anak mereka. Peran domestikasi yang merumuskan formasi gender bermula dari sini. Seperti yang dipaparkan pula oleh John Zerzan dalam esai Patriarki, Peradaban, dan Asal-usul Gender, tentang penundukan yang mula-mula terjadi pada masa agrikultur. Pola ini menjadikan kaum laki-laki lebih memiliki kekuatan secara fisik dibanding kaum perempuan. Awalnya tidak ada masalah. Hingga kebiasaan ini mengakar kuat untuk beberapa masa setelahnya. Terjadi perang antar kelompok untuk menguasai sumber-sumber pertanian. Kaum laki-laki terbunuh, dan perempuan-perempuan mulai dimiliki oleh sang penakluk sebagai budak dan objek seksual. Domestikasi? tentu terus berjalan.

Maka saya berseberang pendapat bahwa perempuan ditakdirkan seperti: “Adapun wanita lemah lembut manja.” Kalaupun acuan Ismail Marzuki melihat kelemahlembutan kaum hawa ini tercipta dari sebuah kebiasaan dalam masyarakat terdahulu dalam pola pembagian kerja dan pada akhirnya menjadi psikologis yang terpakemkan, maka tentu saja baris lirik ini bisa berubah.

Lalu pada baris ini, “Wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu,” Ismail Marzuki dengan lugas menyampaikan penindasan kaum perempuan dalam frame “kepemilikan” cinta kasih. Kepemilikan dalam bentuk ini yang juga menyulut perang-perang besar semacam Perang Troya, legenda historis klasik (mitologi) Yunani. Yang jadi masalah, penindasan kaum perempuan tidak melulu tentang kisah kasih dengan beragam intrik didalamnya. Tidak pula semata-mata mengenai urusan poligami atau kawin kontrak, berlakunya jam malam dan relasi seksual di atas ranjang, atau juga ia yang menyusup ke dapur dan sumur. Dengan gampang bisa kita lihat perempuan menjadi sasaran empuk para produsen, terutama industri kecantikan — ya itu tadi, supaya: “Namun ada kala pria tak berdaya, tekuk lutut disudut kerling wanita.” Lantas apa nasib kaum perempuan berubah ketika para laki-laki obsesif yang mengejar cinta seorang perempuan membuatkan seribu candi, atau ketika saat kini banyak kaum perempuan mendapat porsi lebih dalam strata sosial seiring wacana kesetaraan gender berada di posisi yang lebih dari sekedar pekerja pabrik dan tenaga kerja asing yang kerap menjadi objek kekerasan seksual?

Ismail Marzuki, atau yang akrab dipanggil Ma’ing, yang di saat-saat itu juga memberi les bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan Jerman demi menafkahi keluarganya, dikenal luas sebagai seorang komposer yang melahirkan karya-karya melegenda. Lagu-lagu ciptaannya yang beberapa diantaranya dianggap menggelorakan jiwa para pejuang tempo dulu memberinya predikat pahlawan nasional. Maka siapa yang tak kenal dengan lagu Halo-Halo Bandung — yang meski masih dalam area kontroversi kepenciptaanya — atau lagu Sepasang Mata Bola, atau Selendang Sutera? Kecerdasannya menggubah lagu bisa kita lihat dalam lagu yang sedang kau simak saat ini, Sabda Alam, yang begitu melekat di kepala banyak orang termasuk saya, tentang bagaimana kondisi sosial keperempuanan yang terjadi didepan matanya.

Seperti yang dituturkan oleh putrinya, Rachmi Aziah, bahwa sebagian besar karya-karya Ismail berdekatan dengan segala sesuatu yang terjadi disekitarnya. Dan meskipun mendapat anugerah luar biasa sebagai pahlawan nasional, dan namanya diabadikan oleh Ali Sadikin sebagai nama pusat kesenian dan kebudayaan di Jakarta, putri Ismail Marzuki, perempuan satu-satunya dari dirinya yang tersisa, mesti hidup dalam kenyataan klasik bagi keturunan pejuang negeri ini: hidup serba kekurangan. Dalam sebuah wawancara dengan TV, Rachmi mengatakan bahwa royalti yang biasa diterimanya kini sudah dihentikan, karena karya bapaknya sudah berumur lebih dari lima puluh tahun dan sudah menjadi domain publik.

Melalui Sabda Alam, Ismail Marzuki mencoba mengangkat realita perempuan dimatanya dan dimasanya. Sialnya, dunia modern seringkali melupakan masa-masa di saat laki-laki dan perempuan saling berbagi peran dengan bersama-sama mewujudkan impian bersama. Kalaupun alam mensabda agar perempuan tunduk dalam dominasi laki-laki, maka kita patut melanggarnya, bukan?
Maka percayalah, ini bukan takdir.


Penulis adalah aktivis media alternatif gratis di skena hardcore punk Kota Palembang, yang tertarik pada budaya urban, dadaisme, seni kolase, bir dan radiohead. Saat ini menjadi pewarta ekonomi bagi Majalah Kinerja Bank di Palembang. 

 

 

 



Stupidzero: Emosi Tanpa Keramaian

Dewa Made Karang Mahardika

 
Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Jaraknya cuma kisaran 80 kilometer dari Kota Medan. Kota tempat pelukis Pak Tino Sidin berasal ini, menyimpan sejarah kelam saat meletusnya kerusuhan di tahun 1998 yang menjalar menjadi isu rasial.  Ah, semoga saja itu semua cukup menjadi pembelajaran dan kiranya traumatis sejarah itu dapat terobati dengan mencicip kelezatan jajanan khas lemang dan kue kacang rajawalinya.

Tak disangka-sangka, di kota perlintasan lalu lalang transportasi antar provinsi ini, gemuruh grunge terdengar hingga kota-kota dan provinsi-provinsi sekitarnya bahkan ke negeri tetangga, Malaysia. Gejalanya terasa di kisaran 1996. Band-band lokal sekira Nirvana dan Sonic Youth bermunculan. Stupid Zero menjadi salah satu yang masih berdiri hingga kini. Mereka terbentuk hampir 15 tahun yang lalu, atau tepatnya 10 Oktober 1997. Dengan meng-cover lagu-lagu dari The Need dan varian Seattle Sound, band ini menjelajah panggung di event-event komunitas underground Sumatera Utara.
Tidak mudah untuk mempertahankan sebuah band di masa-masa kritis yang melanda Kota Tebing Tinggi di era-era itu. Senasib dengan band-band lain, mereka mesti berhadapan dengan penolakan studio-studio musik yang memasang plakat larangan bagi band punk maupun grunge untuk berlatih di studio musik kolot ini. Dan ini bukan satu-satunya kendala. Keterbatasan pengadaan event juga mereka rasakan sebagai imbas dari mahalnya tarif gedung hingga proses birokrasi yang seperti benang kusut.

Secara internal, Stupidzero mesti merombak berulang-ulang formasi dalam tubuhnya hingga menjadi sebuah band yang solid. Format terkini yakni berempat-- Ivan Tigabelas gitaris sekaligus vokalis, Oyde pemeran gitaris, Boy pemain bas, Pudja Rahim di posisi gitar, dan Yudhi pemukul drum--dimulai tahun 2007 silam yang aktif berkarya hingga saat ini. Ritme perjalanan hidup band ini membawa mereka berproses menuju apa yang sebagian orang sebut sebagai pendewasaan. Nanti dulu, warna musik mereka yang kini bernuansa post rock atau experimental bukan berdasar kehendak pasar. Seperti yang kubilang tadi, bahwa ini meruoakan bagian dari proses panjang pergelutan mereka melawan kemonotonan. Dan itu terjawab dengan karya-kerya yang sepintas lalu beraroma shoegaze dan noise, yang juga akan kau temui kompleksitas pada lirik-liriknya.

Ivan Tigabelas, sang vokalis sekaligus si penulis lagu yang menggemari penyair Chairil Anwar, percaya bahwa sebuah lagu akan hambar tanpa kekuatan lirik didalamnya. Coba kau simak single "Tiga Kali Lebih Tenang" yang pernah diikutsertakan dalam kompilasi Total Feedback vol.VI di Jakarta tahun 2011 silam, atau single berjudul “Aku Tinggalkan Kau di Pintu Terakhir” di kompilasi Grungee Jumping-Noise Grunge Compilation tahun 2011. Disitulah akan kau lihat betapa lirik menjadi roh dalam sebuah lagu, dan tentu saja dengan musikalitas yang tak kalah kualitasnya.

Selain dua kompilasi yang kusebut di atas, Stupidzero juga melibatkan single "Tiga Kali Lebih Tenang" versi remix di kompilasi Asal Malaysia, Gerakan Grunge Bangkit di tahun 2011. Lalu tahun 2012, single yang sama juga tergabung dalam kompilasi Surabaya, Grunge Indonesia yangmana CD-nya dipaketkan dalam buku pergerakan subkultur grunge di Indonesia bertajuk "Perjalanan Grunge Indonesia". Setahun setelahnya, yakni 2012, single "Tidak Sedang Sadar" dilibatkan dalam Maximum Grunge Compilation dari Kota Bandung. Berlanjut dengan cover single Nirvana "You Know You're Right" dalam Indonesian Tribute to Nirvana Compilation di Jakarta, dan single "Experimentalia Menuju Surga" di Malaysia yang kini dalam proses penyelesaian.

Kesibukan Stupidzero menggarap full album telah dimulai sejak 2007 lampau, termasuk video klip untuk single "Tidak Sedang Sadar". Akhirnya, setelah berkonsentrasi cukup lama, album Anomalia siap rilis di kisaran Agustus tahun ini. Seluruhnya berisi 12 track segar yang kesemuanya dimatangkan di Chinese Food Record milik Ivan Tigabelas di Kota Tebing Tinggi, yang juga akan dirilis oleh dua label nasional yakni The Drexter asal Kota Depok dan Erassed Record dari Jakarta.

Album dalam format CD sebanyak 1.000 copy ini sangat berwarna karena bereferensi dengan band-band semisal Sigur Ros, Radiohead, Mogwai, Nirvana, Sonic Youth, Sleep Party People, Placebo, Merzbow, Boris, Blgtz, Bjork, The Doors, dan tentu saja yang tak terlupakan, Chairil Anwar.

 

Penulis adalah aktivis media alternatif gratis di skena hardcore punk Kota Palembang, yang tertarik pada urban culture, dadaisme, seni kolase, bir dan radiohead. Saat ini menjadi pewarta ekonomi bagi Majalah Kinerja Bank di Palembang. 

Ke Banua Oge, Rumah Raja Palu (bag.2)

Indar Ismail

Banua Oge atau Banua Mbaso atau Sou Raja alias rumah raja yang berada di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, masih dapat dikunjungi hingga kiini. Rumah dengan 28 tiang berkayu ulin—kayu anti air dan rayap mahal khas Kalimantan—ini menjadi saksi sejarah raja-raja Palu dan peninggalannya.


Ada Kursi Raja, Mesin Jahit yang Gagal Dirampas Jepang

Dengan ditemani Medi (23), generasi kelima dari Yojokodi, raja ketujuh dari raja pertama Palu, Puenggari, wartawan Mercusuar  berkesempatan mengunjungi bagian-bagian rumah pada Selasa siang (2/5/2103).   


Ketika berdiri di gandaria (teras) dan akan memasuki  rumah, terdapat tiga pintu yang menghadap tamu. Yakni pintu tengah, pintu samping yang terletak di sisi kiri dan pintu magau atau pintu langsung ke kamar raja. Menurut Medi, kamar magau sengaja dibuatkan pintu agar raja bisa langsung masuk ke kamarnya. 

Belum berhenti di situ, di atas setiap pintu ada ukiran kaligrafi dengan huruf Arab bertuliskan Allah dan Muhammad. Ini menandakan jika pada masa rumah tersebut dibangun oleh Yojokodi pada tahun 1892, Islam telah menjadi agama resmi di Kerajaan Siranindi, salah satu dari patanggota atau wilayah yang empat dari Kerajaan Palu. Kemudian berderet enam foto. Salah satu yang menyita perhatian adalah foto raja Djanggola, kakek Gubernur Sulteng, Longki Djanggola dengan sejumlah pembesar kerajaan dan tokoh Belanda yang dipajang persis di samping pintu tengah.


GAMBAR raja dan keluarganya terpampang di dinding pintu tengah sebelum masuk Sou Raja. FOTO: INDAR/MS


Di ruang tengah atau tatanga ada sejumlah kursi tempat raja menerima tamu. Empat kursi kayu berukir, dua kursi kayu berbentuk bulat dan sebuah kursi goyang, menghiasi tatanga. Dinding-dinding rumah juga seolah bercerita tentang masa kejayaan dahulu saat Mercusuar bisa menyaksikan sejumlah gambar dari dekat.  Menurut Medi, foto-foto hitam putih berukuran minimal 10 R itu merupakan potret dari turunan Raja Yojokodi seperti Parampasi, Paliusi, Djanggola dan Tjatjo Ijasah beserta keluarganya. 

Sebuah foto berlatar Sou Raja dengan puluhan ibu dan anak-anaknya juga menghiasi salah satu dinding ruangan. Istimewanya, gambar itu memuat Parengkuan, Menteri Kesehatan Republik Indonesia pertama yang sempat berkunjung ke Banua Oge pada 1950. Raja-raja dan keturunannya juga terpampang dalam Bahasa Belanda. Sayang dua kertas sisilah itu tak terlihat jelas lagi bacaannya. 

Beberapa peninggalan lain seperti cangkir dan gelas raja turut tersimpan dalam sebuah lemari. Juga beberapa potong pakaian yang terlipat rapi meskipun lusuh dimakan zaman. Namun, untuk menunjukkan jenis baju raja-raja dahulu, pemerintah memajang duplikasi baju magau dan keluarga magau beserta senjata tradisionalnya dalam lemari kaca. 

Bisa dipastikan bahwa busana raja dan keluarganya di akhir tahun 1900-sampai zaman penjajahan telah modis pada masanya. Selain daripada duplikasi busana, itu juga antara lain terlihat dari gambar yang terekam, dimana raja dan para pembesarnya telah menggunakan stelan jas. Sedangkan anak gadis dan istri raja telah mengenakan kain kebaya tanpa kerudung.  Apalagi sebuah mesin jahit tua masih tersimpan di depan kamar raja. Ringkasnya, baju raja kala itu sudah dijahit mesin, bukan oleh jahit tangan. Menurut Medi, mesin jahit itu tinggal satu-satunya tersisa, dari beberapa unit yang pernah ada. “Mesin jahit ini pernah ingin diambil Jepang tapi tidak berhasil,” tukas mahasiswa Fakultas Hukum pada Universitas Tadulako ini. 

Menengok sedikit ke kamar raja. Dua pasang jendela besar layaknya ukuran pintu terlihat terbuka. Ada lemari kayu serta sebuah tempat tidur kelambu dengan sepasang bantal dan guling. Sekeliling kamar dihiasi kain bercorak khas Kaili, kuning, merah, biru dengan corak bunga. Kamar raja berukuran 2x4 meter.  Untuk kamar keluarga raja, selain terdapat beberapa foto, juga ada beberapa kursi.  

Meskipun diizinkan bebas merekam sejumlah sudut rumah, namun ada satu sisi rumah yang tidak bisa difoto. Medi mengaku tempat yang berada di belakang ruang tengah itu adalah tempat pelaksanaan adat. Kain terbentang berwarna kuning dibuat mengitari di samping tangga menuju loteng. “Di loteng ini dahulu jadi tempat menenun dan anak gadis ketika ada tamu raja,” tambah Medi.  Dari kejauhan ada lubang selebar bola kasti di lantai panggung tempat adat. Menurut Medi, lubang itu adalah tempat membuang debu dan sampah ketika penghuni rumah menyapu.

Untuk menuju avu atau dapur, ada lantai sepanjang tiga meter dari bangunan utama. Lantai kayu tersebut tidak beratap. Semacam ruang rehat atau untuk menikmati angin bagi keluarga.  Pada sisi kanan ruang ini ada jamban, tempat mandi dan gudang. Sedangkan sisi kiri ada pintu lalu tangga untuk naik turun keperluan dapur atau urusan jamban. 

Peninggalan menarik juga bisa disaksikan di dapur. Misalnya ada kuratana, yakni alat memasak dari tanah liat yang dibuat di Kelurahan Duyu (kini masuk Kecamatan Ulujadi) sekitar tahun 1935. Juga ada kurabolo, alat kukusan yang juga dibuat pada tahun yang sama di Duyu.  Jika kuratana tak berlubang, pada kurabolo justru ada lubang Kukusan, antara tujuh sampai sembilan lubang berukuran kelereng. Juga ada dua panci dari besi dan tungku dari batu. Penataan diupayakan menggambarkan kondisi dapur keluarga raja. 

Bukan hanya tamu dan rombongan pejabat dari luar Palu, Sou Raja ini juga pernah dikunjungi sejumlah peneliti atau arkeolog dan antropolog asing, seperti asal Australia dan Austria pada tahun lalu. “Juga pernah ada orang Belanda yang datang ke sini,” lanjut Medi.  Sedangkan pengunjung domestik atau yang ada di Palu, dalam sebulan bisa mencapai empat atau lima kali kunjungan. Kebanyakan adalah rombongan siswa dan mahasiswa. Meskipun ia dan kawan-kawan berupaya merawat dan mempromosikan bangunan Sou Raja ini melalui Sangar Seni Sou Raja sejak tahun 2001, namun masih ada kecemasan dalam diri Medi.  Sebab lebih banyak generasi muda yang sekadarnya melihat, sedikit sekali yang serius untuk --katakanlah-- mencatat atau merekam bagian-bagian yang dijelaskan. Artinya, bangunan bernilai sejarah itu belum dimaknai sebagai ilmu pengetahuan.  Karenanya, ia berharap mereka yang diperkenalkan sejak dini adalah anak-anak sekolah dasar (SD), sehingga lebih mudah untuk merekam sejarah lokal yang ada di Sou Raja. “Saya khawatir, banyak anak muda tidak kenal sejarah Palu,” tandasnya. 

Ketua Dewan Pendidikan Sulteng, Prof Dr Juraid menyarankan orang tua memanfaatkan masa liburan sekolah untuk mengajak anggota keluarganya mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Sulteng, salah satunya Banua Oge atau Sou Raja. “Sangat penting dan merupakan momen untuk meningkatkan inspirasi, edukasi, kreasi dan rekreasi anak di masa libur ini,” tukasnya, Rabu (3/7/2013). ***


Penulis merupakan pewarta yang berdomisili di Kota Palu, 

Sulawesi Tengah