Senin, 29 Juli 2013

Ke Banua Oge, Rumah Raja Palu

Indar Ismail


Meski sudah bertahan selama 121 tahun, namun Banua Oge atau rumah besar raja Palu yang ada di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, masih berdiri kokoh. Konstruksi bangunannya unik, karena perpaduan rumah adat Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan.


Jika Bertamu Harus Dari Tangga Kiri

Banua Oge atau Banua Mbaso atau  Sou Raja ini persisnya dibangun pada tahun 1892 oleh Yojokodi, raja ke-7 dari Puenggari, raja Palu yang pertama.  Banua Oge  yang sekarang berada di wilayah Kelurahan Lere, dahulu merupakan rumah dari Kerajaan Siranindi, salah satu patanggota atau kerajaan yang empat di Palu. Untuk menuju lokasinya tidak sulit. Cukup bertanya kepada warga yang berada di Kelurahan Lere, dekat jembatan empat, atau warga dari Kelurahan Baru, pengunjung akan diarahkan menuju sebuah rumah bercat panggung cokelat. Dari depan juga tampak mencolok. Ada pintu gerbang bertuliskan Cagar Budaya Banua Oge

Mehdi Antara (23), turunan ke-5 dari Yojokodi yang ditemui penulis, siang itu. Ia mengatakan  pada masanya, Banua Oge merupakan tempat tinggal para raja dan keturunannya sekaligus pusat pemerintahan Kerajaan Siranindi dalam lingkungan patanggota. Meskipun sudah berusia seabad lebih, namun fisik bangunan tidak banyak berubah. Kecuali atap rumah yang kini berganti menjadi seng, dari rumbia. 

Menurut cerita yang sampai kepadanya, rumah ini terakhir dihuni sekitar awal tahun 1970-an. Setelah itu, keluarga bersepakat untuk menjadikan rumah ini sebagai cagar budaya. Meskipun tak lagi dihuni, namun sejumlah kegiatan keluarga masih memanfaatkan rumah ini. Seperti saat khitanan anak. “Saya dikhitan di sini tahun 2000,” katanya ketika ditemui, Selasa (2/7/2013).  Ia mengaku sang ibunda dilahirkan di rumah tersebut pada tahun 1963. 

Medi, sapaan akrabnya, yang sudah tiga tahun terakhir menjadi pemandu Banua Oge, mengatakan segera setelah rumah tak lagi dihuni keluarga dan masuk dalam cagar budaya,  pemeliharaan bangunan langsung menjadi tanggungan pemerintah. Pemugaran pertama selesai dilakukan pada tahun 1983. 

Data arkeologis menyebutkan,  rumah besar panggung mirip rumah Sulawesi Selatan ini berukuran 32 x 11,5 meter persegi. Konstruksi tiang-tiang utama adalah  kayu ulin atau kayu besi asal Kalimantan ditambah kayu daerah. Total ada 28 tiang rumah induk dan gandaria (teras) serta delapan tiang rumah dapur. “Mungkin orang-orang tua dahulu sudah memikirkan bangunan rumah tidak hanya bertahan sepuluh atau dua puluh tahun. Makanya kayunya kayu ulin, kayu besi yang tahan air, rayap,” tukasnya. 

Rumah besar Raja Palu, perpaduan Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan

Secara umum, Banua Oge adalah rumah panggung berbentuk pelana. Tangga depan terdiri dari dua, yakni sisi kiri dan sisi kanan. Sedangkan jumlah anak tangga ganjil.  Menurut Medi, dua tangga utama di depan merupakan simbol dari suami istri. Untuk naik rumah juga tidak sembarang. Tamu atau penghuni rumah harus naik dari sisi kiri, kemudian turun dari sisi kanan.   

Medi juga bercerita tentang sejumlah komponen rumah. Selain gandaria, ada  tatanga atau ruang tengah yang berfungsi untuk menerima tamu.  Lalu dua kamar, yakni  kamar tidur magau atau kamar raja dan kamar keluarga magau.  Di atas ruang tengah ada loteng yang berfungsi dua, yakni tempat menenun dan tempat sementara anak gadis ketika raja menerima tamu.  Di sisi belakang ada avu atau dapur. Kemudian satu kamar mandi dan satu wc.  Juga ada gampiri atau tempat menyimpan lumbung padi yang bangunannya terpisah dari rumah utama.  

Mengapa harus panggung? Medi mengatakan karena dahulu rumah masih kurang, rumah sengaja ditinggikan untuk mencegah banjir atau serangan binatang buas. Memang lokasi bangunan tidak jauh dari sungai yang memungkinkan hewan seperti buaya sesekali singgah di darat. Selain itu, dahulu  tempat di bawah rumah atau di antara tiang-tiang rumah dipakai untuk menyimpan alat transportasi raja. Seperti gerobak dan kuda.  

Jika yang berkunjung adalah tamu formal seperti pejabat, memang ada syarat. Harus terlebih dahulu menyerahkan sambulu, seperti pinang, daun sirih dan gambir.  Tapi merujuk pengalaman penulis dan ramahnya pemandu, tidak ada salahnya berkunjung mengajak keluarga ke Banua Oge. Mumpung dua hal, anak masih libur sekolah dan gratis. ****


Penulis merupakan pewarta yang berdomisili di Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar