Minggu, 04 Agustus 2013

Natoni, Bahasa Verbal Sarat Makna

Leksi Salukh 






Jika di Ende, Flores, masyarakat mengenal ada be'a, sapaan adat dalam bahasa Lio, maka di Timor masyarakat adat memiliki sapaan adat tersendiri yang dikenal dengan natoni. Natoni merupakan ungkapan pesan-pesan yang dinyatakan dalam bentuk syair-syair bahasa kiasan adat yang dituturkan secara lisan oleh seorang penutur (atonis) yang dilakukan dengan ditemani oleh sekelompok orang sebagai pendamping yang dinekal dengan sebutan na heâ??en yang ditujukan baik kepada sesama manusia maupun kepada para arwah orang mati atau dewa. Dalam natoni, yang bertindak sebagai pengirim pesan disebut atonis dan na heâ??en. Pesan yang diungkapkan melalui syair-syair natoni yang diucapkan menyerupai pantun. Natoni biasanya disampaikan kepada sesama manusia, juga kepada arwah orang mati atau para dewa yang disembah.

Natoni sebenarnya lebih kepada interaksi satu arah. Hanya natoni perkawinan yang ada nuansa dialognya. Sebaliknya bila natoni ditujukan untuk arwah leluhur maka dilakukan ibarat doa bersama. Natoni merupakan sarana komunikasi tradisional yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan tertentu baik kepada sesama warga maupun kepada para leluhur.

Natoni biasanya dituturkan dalam rangka upacara adat baik adat perkawinan maupun kematian, juga acara-acara seremonial lainnya misalnya saat penyambutan dan pelepasan tamu. Menurut Ayub Salu, salah seorang penutur natoni atau atonis di Kupang kepada VN, natoni merupakan tutur yang disampaikan dengan santun dan bermakna sangat dalam. Kalimat santun yang dirangakai oleh orang yang memiliki kemampuan tutur natoni. Karena itu, kata Ayub, penutur natoni atau natonis tidak semua orang Timor mampu melakukannya. Setiap kalimat natoni harus diramu dan disampaikan sesui dengan tahapan dan runutan secara baik dan benar pada momen yang tepat. Natoni adat biasanya disandingkan bersama oko mama (tempat sirih pinang).

Ketika natoni disampaikan, ada na he'en yang mendampingi sambil memegang oko mama. Biasanya di dalam oko mama selain berisikan siri pinang, juga berisi uang. Nilai nominal berapapun tidak dipersoalkan, karena walaupun nilai nominalnya kecil, namun memiliki makna yang sangat besar. "Angka nominal uang tidak menjadi persoalan melainkan berjalanya prosesi yang lebih diutamakan," kata Salu.

Natoni, lanjutnya, berisikan hal-hal yang berkaitan dengan alam (pah), dan natoni yang berkaitan dengan masalah manusia atau sosial kemasyarakatan (natoni lasi). Natoni yang masih tetap bertahan dalam keasliannya hanya terdapat di masyarakat Boti Dalam yang masih memegang teguh kepercayaan halaika yang dianut nenek moyang mereka. Natoni yang diwariskan para leluhur tetap dipelihara, dan diwariskan secara turun-temurun tanpa merubah bentuk pelaksanaannya.

Saat ini, natoni selain yang dilaksanakan oleh masyarakat Boti Dalam, masyarakat Timor seperti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, dan sebagian wilayah Kabupaten Kupang, masih tetap mempertahankan natoni. Hanya saja, selain untuk acara adat perkawinan, natoni juga biasanya dipakai dalam penyambutan tamu-tamu resmi pada saat masuk dalam tempat acara.

Sementara Gomer Liufeto, juga seorang atonis mengatakan, sering didengar istilah atoin pah meto atau atoin meto, sebenarnya tidak saja memiliki makna sama orang Timor saja tetapi bisa dimaknai atoin pah meto yang bisa diartikan sebagai penutur lahan kering.

Natoni adat memiliki nilai seni yakni bisa mengikatsatukan berbagai pihak dengan olahan tutur. Natoni, kata dia, biasanya juga berisikan sejarah atau kisah-kisah perjalanan nenek moyang leluhur masyarakat Timor di masa lampau, dan mengambarkan apa yang dialami sekarang.







"Afi unun kan muif else la hen natenab hen na ekub kit bi neno i,na ko mais un ini, he nati ta ekum tabua, es le nanet ka laf-lafu fat hit taekum tabua, es onanet Ekus tefat lei ka laflafu faat es nalailbon onleii, mais natuin usi in manekan ma tuntakus", yang berarti, tidak ada suatu prencanaan dari nenek moyang kita di massa lalu untuk bertemu hari ini, sehingga ini bukan sekedar terjadi demikian tetapi semua itu atas perkenanan dari Tuhan.

Natoni juga bisa disebut sebagai pantun adat yang memiliki makna memberi motifasi, karena dalam penyampaian kalimat natoni banyak hal trasional diungkapkan.

Petrus Ana Andung dalam penelitiannya yang dipublikasikan di dalam Jurnal Ilmu Komunikasi volume 8, nomor 1, Januari-April 2010 menjelaskan, natoni adalah salah satu budaya masyarakat Boti Dalam yang paling disakralkan. Masyarakat Boti Dalam memberi nilai lebih yang sangat tinggi pada natoni. Heka Benu menuturkan, Natoin lek na uab lek ma upaâ?? neu monit mansian. Es leâ?? atoin Boti in mes henokan bin. Kalo atoni lek na tiun fa alat, lek na atoin kanaâ?? hin fa alat.

Natoni merupakan sesuatu upacara adat yang sangat sakral dan berarti sehingga setiap orang Boti harus menghadirinya. Kalau tidak ikut maka sama dengan orang yang tidak tahu adat atau tidak berbudaya. Suku Boti Dalam juga menganggap natoni sebagai doa bersama masyarakat. Doa-doa ini menurut mereka, dinaikkan sebagai permohonan warga kepada dewa langit (uis neno) termasuk di dalamnya para arwah orang mati, dan dewa bumi (uis pah). Sebagai doa kepada para dewa, kekuatan natoni sangat sakral dalam kehidupan masyarakat suku Boti Dalam. Mereka percaya bahwa penuturan natoni dalam konteks tertentu sebagai bagian dari upacara pemujaan, memiliki kekuatan yang cukup ampuh memecahkan persoalan yang mereka hadapi. Sebaliknya, malapetaka dapat menjadi ancaman bilamana tidak dilakukan natoni. Misalnya saat terjadi kematian, bila tidak dilakukan natoni amates (natoni kematian) maka bisa berakibat fatal berupa kematian yang akan menimpa anggota keluarga lainnya, karena roh orang yang meninggal diyakini belum tenang.

Natoni oleh warga suku Boti Dalam dianggap sakti atau keramat. Akibatnya warga suku Boti Dalam kemudian menggunakan natoni sebagai alat untuk melakukan sumpah warga. Ini terutama saat terjadi perebutan atau konflik berkaitan dengan batas wilayah. Warga Boti Dalam dapat melakukan natoni pah. Dipercaya bahwa saat melakukan natoni jenis ini, pihak yang bersalah akan ditimpa kematian dalam waktu tidak kurang dari satu tahun. Karena itu, bila ada salah seorang atau lebih dari pihak yang bersengketa meninggal dunia dalam kurun waktu itu maka dianggap sebagai pihak yang kalah dalam konflik tersebut.

Natoni dalam pemanfaatannya sebagai salah satu bentuk media tradisional dalam masyarakat Boti Dalam memperlihatkan beberapa fungsi, antara lain, fungsi membawakan pesan, pola komunikasi untuk kepentingan menyampaikan pesan dari pengirim ke penerima dalam natoni ada komunikasi satu arah dimana tidak terjadi natoni berbalas-balasan, terjadi dalam natoni pah, natoni kematian, natoni sium kap mafleâ??u, dan natoni tafetin kap mafleâ??u. Sebaliknya komunikasi timbal balik di antara dua kelompok natoni terjadi khususnya saat acara perkawinan (natoni ma fet ma monet).

Pada acara ini, kedua kelompok natoni dari kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) akan saling memberi informasi secara timbal balik. Semua informasi yang disampaikan oleh atonis dan na heâ??en walaupun dikemas sedemikian rupa dalam bentuk bahasa kiasan adat, umumnya dapat ditafsirkan, dipahami dan dimengerti oleh sesama warga Boti Dalam. Pihak luar yang dapat berkomunikasi dalam bahasa daerah dawan (uab meto) pun dapat menafsirkan makna pesan yang terdapat di dalam natoni.

Fungsi mendidik, natoni perkawinan mengandung pula pesan-pesan didikan khususnya kepada suami isteri yang menggelar upacara perkawinan. Unsur mendidik tersebut nampak dalam wujud pesan-pesan agar membangun rumah

tangga dengan baik, mengusahakan kebun dan ternak dengan berhasil, serta memelihara dan mengasuh anak-anak dengan baik. Fungsi transmisi warisan sosial, nampak ketika upacara ritual natoni dilangsungkan, secara tidak langsung terjadi proses pembelajaran dari generasi tua yang umumnya sebagai pelaku natoni kepada generasi muda. Dalam tradisi Boti Dalam, natoni merupakan salahsatu upacara adat yang diterima dan diwariskan dari generasi sebelumnya secara turun-temurun. Nenek moyang orang Boti Dalam telah menurunkan kebiasaan ber-natoni ini sehingga tidak punah hingga saat ini.

Proses pewarisan natoni sebagai salah satu nilai sosial yang dipelihara warga Boti Dalam berlangsung secara alamiah. Tidak terjadi proses pembelajaran dalam melakukan natoni. Walau pergeseran terus terjadi, namun hingga saat ini warga suku Boti Dalam tetap mempertahankan keaslian natoni. Budaya tutur ini harus terus dipertahankan keasliannya agar tetap diwariskan kepada generasi selanjutnya. Fungsi transformasi sosial natoni harus tetap dipertahankan sehingga nantinya tidak hanya Suku Boti Dalam, namun semua masyarakat adat Timor mampu membahasakan natoni. Masyarakat Timor mampu menjadi atoin-atoin Handal.


Leksi Salukh, lahir di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Aktif menulis kebudayaan, dan kini menjadi reporter di Victory News




Putri Bambu

Alee Kitonanma



Ilustrasi: devianart.com


Karena sudah terlalu kebelet buang air kecil, Runi mendadak menghentikan sepeda mini dengan keranjang kecil di depannya. Tanpa pikir panjang, Runi langsung merebahkan sepedanya di pinggir jalan. Beberapa temannya yang juga baru pulang sekolah dan menempuh jalan itu heran melihat sikap tergesa-gesa Runi yang kemudian berlari menuju semak. Beberapa orang berteriak memanggil Runi, sembari mereka terus saja berlalu.

Runi menoleh kiri dan kanan sesampainya di semak yang tidak terlalu rimbun. Sementara kedua tangannya sibuk menjangkau celana dalam dari bawah rok biru seragam es-em-pe-nya. Setelah celana dalam putih berbunga matahari itu berhasil ia tarik hingga selutut, Runi maju beberapa langkah pendek hingga sampai di bawah pohon bambu. Baru mulai jongkok, mendadak seekor ular hitam sebesar dua jari muncul di celah-celah pohon bambu. Tepat di hadapan Runi.

Sesak di perut bagian bawahnya sudah bercampur kaget dan takut bukan kepalang. Tanpa pikir panjang Runi langsung berdiri dan mundur. Ia menarik kembali celana dalamnya yang sudah basah kuyup karena air kencingnya keluar tak teratur. Teriakan Runi yang sangat keras membuat beberapa siswa menghentikan sepeda, lalu berhamburan menuju semak di pinggir jalan itu.

Runi kemudian diantar dan dibonceng pulang oleh teman-temannya. Di rumah, ia kemudian menceritakan hal yang menimpa dirinya kepada Basirun, ayahnya. Namun bukan belas kasihan dan manja yang ia dapat, malah bentakan yang ia terima. Runi terisak di pundak ibunya. 

"Sudah berapa kali Ayah bilang, jangan Kau dekati setiap rumpun bambu di kampung ini. Kalau sesuatu terjadi padamu, kami tidak akan sanggup membawamu ke dokter. Apa Kau tidak mengerti juga," suara Basirun terdengar tegas.

Setelah ayahnya keluar, Runi dipeluk Milun, ibunya. Sepertinya Milun tau betul galau hati anak satu-satunya itu. Tangis Runi pun semakin menjadi. 

"Sudahlah, ayahmu begitu karena ia sangat sayang padamu, Nak. Ia amat cemas kalau Kau mendekati batang bambu. Berbahaya, Nak. Kau anak kami satu-satunya. Kalau sesuatu terjadi padamu, kami tidak tahu harus berbuat apa," kata Milun mengulang nasehat Basirun dengan nada lunak sambil mengusap kepala anaknya lembut.

"Ayah dan Ibu selalu bilang bahaya, bahaya, dan bahaya. Memangnya setiap pohon bambu itu ada ularnya, Bu?," Runi mulai berhenti menangis sambil mengangkat kepala dari pundak ibunya.

"Bukan, tapi keramat batang bambu diyakini asal-usul dari Putri Pinang Gading, sampai sekarang masih menjadi legenda di daerah kita, dan sebagian orang masih menganggapnya keramat," jawab Milun.

"Keramat batang bambu? Runi jadi semakin bingung," kata Runi mengerutkan dahi dan fokus menatap mata ibunya.

"Menurut cerita, nama kampung kita ini dulunya diberi nama Belantu, yang diambil dari kata bolu dan antu, yang artinya bambu beracun. Semakin lama, kemudian baru berubah nama menjadi Membalong, nama yang sampai sekarang masih melekat menjadi nama kecamatan kita ini," papar Milun. 

"Lalu, hubungannya dengan Putri Pinang Gading yang Ibu ceritakan tadi?" Tanya Runi tidak puas.

Dahulu kala sepasang suami isteri pernah tinggal di sini. Mereka adalah Inda dan Tumina. Kehidupan mereka sangat sederhana sekali, dan mereka tidak memiliki seorang anak pun. Untuk kebutuhan makan, mereka menanam padi di ladang dan menangkap ikan di laut. Kalau air sedang pasang, mereka memasang jaring di pinggir pantai, maka, kalau air sudah surut, ikan-ikan akan menyangkut di jaring-jaring tersebut.

Suatu hari, musim panen dan air surut datang bersamaan. Inda dan Tumina membuat kesepakatan untuk berbagi kerja. Inda memeriksa jaring ke tepi laut, Tumina turun ke ladang untuk memanen padi. Dalam perjalanannya menuju tepi laut, Inda terus bersiul-siul sepanjang jalan. Ia tampak riang karena musim panen dan air surut bersamaan harinya. Ia akan mendapat untung yang banyak, begitu dalam pikirannya.

Tanpa disadari Inda, sepotong bambu hampir saja membuatnya terjatuh. Bambu itu melintang dihadapan kakinya. Agar tidak menciderai sesiapa lagi, Inda kemudian melempar bambu itu ke laut, hingga dibawa air yang sedang surut ke tengah laut. Sesampainya di jaring yang ia pasang beberapa hari yang lalu, Inda kemudian melihat banyak ikan yang menyangkut di jaringnya. Ia gembira sekali. 

Saat badannya akan mulai merukuk mengumpulkan ikan, Inda kembali tersandung sepotong bambu. Ia terkejut, karena bentuk bambu itu serupa dangan bentuk bambu yang ia lempar ke tengah laut tadi. Ruas, panjang, warna, dan ukuran, semuanya sama. Ia berpikir, bagaimana bisa bambu itu kembali lagi, sementara air telah surut jauh. Angin tentu tidak akan mampu menerbangkan bambu seberat itu. Lagi-lagi Inda membuangnya ke laut, kali ini ia lempar sekuat tenaga dan bambu itu melayang lebih jauh. Terseret dibawa ombak ke tengah laut.

Ikan terkumpul banyak, Inda kebingungan membawa hasil jeratnya. Tiba-tiba di hadapannya bambu yang ia lempar ke tengah laut tadi muncul lagi. Berarti bambu ini minta dipergunakan, begitu pikirnya. Tanpa lama mempertimbangkan, Inda menjadikan bambu tersebut untuk memikul ikan yang telah ia susun di tali.

Singkat cerita, di rumah, isterinya pun mempergunakan bambu itu sebagai penjemur kain. Suatu ketika, bambu itu pecah, dari dalam memancarkan sinar yang berkilauan. Seorang anak bayi menangis di sana. Inda dan Tumina berkejaran mengambil anak itu. Tumina kemudian berusaha menenangkan anak itu dengan nyanyiannya; "Anakku sayang, anak kandungku. Anak kandung sibiran tulang, obat jerih pelerai demam." Bayi perempuan itu kemudian tertidur, Inda dan Tumina senang bukan kepalang.

Mereka kemudian menjadikan anak itu sebagai anak mereka, dan memberi nama Putri Pinang Gading. Di usia 15 tahun, Putri Pinang Gading sudah mahir memanah atas ajaran Inda. Hampir setiap hari ia pergi ke hutan dan membawa tangkapan. Kehidupan Inda dan Tumina menjadi lebih baik. 

Suatu hari, terdengar kabar, di Kampung Kelekak Remban terjadi penyerangan oleh burung yang besar. Oleh masyarakat Kelekak Remban, burung itu disebut Burung Gerude. Burung itu tinggal di sebelah timur daerah Ranau. Burung tersebut sangat buas. Ia menghancurkan penduduk Kelekak Remban. Bahkan telah menelan seorang warga. Seluruh penduduk Kelekak Remban takut akan burung raksasa tersebut. Tidak seorang pun warga yang berani keluar rumah dibuatnya.

Putri Pinang Gading minta izin pada orang tuanya untuk membantu warga Kelekak Remban. Dengan berat orang tuanya mengizinkan. Sesampainya di sana, Putri Pinang Gading mencari tempat yang tepat untuk memanah burung itu. Ia kemudian menyiapkan diri dan anak panahnya yang sudah dibubuhi racun di atas sebuah pohon. Ketika burung gerude lengah, Runi kemudian memanahkan anak panahnya tepat di dada burung, hingga jatuh dan terkapar. 

Warga pun berlari keluar untuk menyaksikan kematian burung gerude yang menakutkan mereka. Warga kemudian mengadakan pesta sebagai sukuran, dan mengundang Putri Pinang Gading. 
Konon tempat burung gerude jatuh itu menjadi tujuh buah anak sungai, sedangkan anak panah yang Putri Pinang Gading yang mematikan burung gerude tumbuh menjadi serumpun bambu. Suatu saat seorang pemancing memotong bambu itu untuk dijadikan joran. Tanpa sengaja tangan pemancing itu tersayat sembilu bambu dan langsung meninggal.

"Lalu, apa semua orang percaya akan cerita itu, Bu? Runi lihat, orang-orang di kampung ini biasa saja menebang dan menggunakan bambu untuk di jadikan joran pancing, pagar halaman, tonggak bendera, anyaman, dan banyak keperluan lainnya. Kenapa Ayah dan Ibu melarang Runi dekat-dekat pohon bambu? Itu artinya Ibu dan Ayah belum berpikiran modern dan percaya pada tahayul. Dosa lho, Bu, kan termasuk syirik," Runi merespon cerita ibunya, membandingkan dengan ilmu yang ia peroleh di sekolah.

"Bukannya syirik, Nak. Kami hanya takut jika terjadi sesuatu padamu nanti. Itu makanya Ayahmu sangat marah tadi ketika tahu Kau dekati pohon bambu. Tidak ada salahnya kan kami cemas seperti itu? Dan tidak ada salahnya pula kan, kalau Kau tidak mendekati pohon bambu itu lagi," kata Milun lembut seperti meminta, yang membuat haru di dada Runi, ketika sadar, orang tuanya begitu sayang padanya. Sesaat, Runi mengangguk, lalu memeluk tubuh ibunya yang tidak terlalu besar dari tubuhnya.

Siang kemudian beranjak. Malam hadir membawa bulan redup di Membalong. Hingga seperempat malam, masih terdengar hiruk-pikuk para bapak dan bujang di kedai kopi. Pertengahan malam, suasana mulai sunyi, jalan telah lengang. Tidak seorang pun tampak berjalan lagi. Lampu-lampu rumah pun sudah dimatikan warga. Runi membawa legenda yang diceritakan ibunya tadi siang ke dalam mimpi. Larut.

Jam 02 dini hari, terdengar pekikan keras dari sebuah rumah yang tidak jauh dari tempat tinggal Runi dan keluarganya. Para warga yang tersentak berhamburan ke luar. Pemuda di pos ronda yang sedari tadi tertidur pulas tidak ketinggalan.

"Ini sudah yang ketiga kalinya. Masih uang juga yang hilang. Tidak bisa dibiarkan, kita harus bertindak," sorak seorang pemuda. Yang lain kemudian menyusul dengan teriakan yang lebih keras untuk mengiyakan.

Ketua RW kemudian membagi kelompok untuk berpencar. Pencarian pun dimulai. Semua lelaki yang dirasa cukup umur dilibatkan. Hingga Subuh menjelang, pencarian tidak menghasilkan apa-apa. Orang-orang pada pulang. Ada juga yang langsung ke mushola.

Pagi warga dikejutkan penemuan lobang-lobang aneh di pinggir jalan, pada lokasi yang berbeda. Lobang itu hanya seukuran tubuh manusia dewasa. Di dalamnya tampak bambu ditanam tersusun rapi. Runcing. Darah segar mengalir hampir di setiap bambu. Namun tiada sesiapa di dalamnya. Begitu pun kondisi di lobang lainnya.

Warga semakin gempar, tujuh mayat ditemukan dalam sungai yang berbeda. Diduga, mereka adalah lelaki yang terjebak di dalam tujuh lobang berbambu runcing, karena ada bekas lobang-lobang di tubuh mereka. 

Tak terhitung jumlah orang yang hadir melihat peristiwa janggal itu. Masyarakat dari daerah luar pun berduyun-duyun datang ingin menyaksikan kejadian. Polisi di sana-sini sibuk mencari tanda-tanda. Lengkap dengan anjing pelacaknya.

Jauh dari keramaian, di bawah pohon bambu, dekat sebuah semak yang tidak terlalu rimbun, Milun dan Basirun menangis terisak.

"Kita harus merelakannya, Pak. Barangkali benar mimpi itu, dulu kita menemukannya di bawah pohon bambu ini, sekarang ia pun telah kembali ke asalnya, dengan meninggalkan baju ini dan kenangan untuk kita," suara perempuan paruh baya terdengar lunak, sambil terus terisak di lengan suaminya. Sesaat, kembali dalam ingatan mereka, ketika menemukan Runi yang masih merah terbungkus adalam kardus mi di bawah pohon bambu itu, belasan tahun lalu. 

Mereka kemudian berbimbingan meninggalkan tempat sunyi itu, membawa pulang baju anak mereka yang hilang, dan sepeda mini berkeranjang kecil di depannya mereka dapatkan tergeletak di dekat pohon bambu. (***)


*Kisah ini diceritakan ulang dari salah satu legenda di Pulau Belitung, dengan judul aslinya Putri Pinang Gading, dengan cara menyadur dan disesuaikan dengan sudut pandang kekinian. Cerita ini diikutkan dalam sayembara penulisan ulang cerita rakyat Belitung pada tahun 2012, dan berhasil mendapatkan peringkat 1. Cerita ini kemudian dibukukan, yang terangkum dalam antologi "Kelingking Putri Bambu"





Alee Kitonanma sebagai nama pena. Memiliki nama asli Alex Sander, lahir 8 November 1985 di Kotobaru Simalanggang, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Menulis cerpen, puisi, artikel, dan berita. Bekerja sebagai reporter di Harian Pagi Tribun Pekanbaru (Kompas Gramedia). Selain di media massa, karyanya terangkum dalam antologi, Ibu yang Menyusukan Anaknya di Bulan (Dinas Pariwisata Sumbar, 2010), Kumpulan Puisi Kelopak Bunga Jantung (TIB Press, 2010), Karena Aku tak Lahir dari Batu (Sastra Welang Publisher, Bali, 2011), Kelingking Putri Bambu (Belitung Press, 2012), dan sejumlah antologi lainnya. Sedang mempersiapkan buku perdananya, Kleptomiyabi.




Angin Jelata


Ina Kaka


Pagi kami kehilangan mataharinya
Gemeletuk dingin bertahta meski terik siang menjalar
Keluh tidak ada guna
Senyum saja terus diulas
Sudut mata adalah saksi sia-sia
Seperti  pagi ini
Pukul sebelas kala pagi menjelang siang

Ibu adalah lagi-lagi pengurai kata penghiburan 
Pencipta tawa sekitar yang dengar
Aku, adik-adik dan anak tetangga

Pukul sebelas kala pagi menjelang siang
Ada tangis dalam hela nafas tawa ibu

Harga beras naik
Harga ikan naik
Harga sayur naik
Harga telur naik
Minyak goreng juga naik

Pukul sebelas kala pagi menjelang siang
Ada tangis dalam hela nafas tawa ibu

Sekolah dasar gratis hanya slogan
Berobat murah tak mujarab obatnya
Tawa kami diselingi tarikan ingus
Celoteh kami berirama serak batuk kering
Canda kami terucap dalam keroncongan perut

Kami jelata berkicau seperti meracau
Bertutur angan yang mustahil
Kenyang di tanah sendiri

Bagi jelata
Sejahtera  itu mimpi

INA KAKA, 6/3/139 am, serambi pastoran Atmajaya-Jakarta





Ina Kaka, mahasiswi Institut Kesenian Jakarta yang menaruh minat pada puisi dan seni pertunjukan