Senin, 29 Juli 2013

Hidup Mati Itu Sederhana

Pramesthi Ratnaningtyas



The Sick Child, 1896
Oil on canvas
121.5 x 118.5 cm

 
Perempuan yang sudah tidak lagi muda itu mengerutkan dahinya saat mendengar kentut pagi hari yang dibuang suaminya. Pemilik rambut hitam semu putih sebahu itu juga hanya bisa menggelengkan kepala saat melihat suaminya yang kemudian menggaruk pantat saat mengubah posisi tidur usai kentut.

Di kamar tidur berukuran sedang dengan tempat tidur yang terbuat dari besi berwarna hitam itu pula ketakutan dan kematian dari sepasang orangtua itu bermula. Rumah yang menjadi ‘payung’ kehidupan bagi dua insan manusia untuk menghabiskan waktunya. 

Bangunan berkonsep sederhana itu menjadi saksi bisu Tji (Hengky Solaiman) dan Ing (Maria Oentoe) pada film Wan An (dalam bahasa Indonesia berarti selamat malam.red). Film karya mahasiswa Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta dengan sutradara Yandy Laurens ini menghadirkan kisah sepasang orangtua yang mampu melewati hidup bersama di tengah pertikaian politik negara atau problematika ekonomi. Pasangan yang menanggapi situasi sosial, politik dan ekonomi secara sederhana dan santai. 

Film tersebut diputarkan pada Sekolah Kebudayaan Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia di Hotel Bukit Gumati Batu Tulis Bogor, Minggu (21/7). Wan An merupakan film yang meraih tiga penghargaan kategori Film Pendek Favorit  Pilihan Penonton, Film Pendek Fiksi Naratif Pilihan Media, dan Film Pendek Fiksi Naratif Terbaik pada XXI Short Film Festival yang diselenggarakan di Jakarta, 24 Maret 2013.

Tji (Hengky Solaiman) dan Ing (Maria Oentoe) dalam film pendek Wan An

Cerita itu digulirkan begitu apik. Tiba-tiba bisa membuat tertawa, tapi juga tiba-tiba membuat hati penonton tersentuh. Terutama saat Ing tidak bisa tidur karena takut jika salah satu dari mereka tidak bisa membuka mata lagi saat matahari mulai bersinar. Ketakutan yang menjadi nyata saat Tji terbangun dan mendapati Ing tak bernafas. Ekspresi kesedihan dan tangis Tji yang sontak berubah menjadi kemarahan karena Ing tiba-tiba tertawa lantaran Tji tertipu dengan akting Ing yang pura-pura mati.

Kemarahan Tji  membuat Ing merasa bersalah dan selalu meminta maaf. Hingga akhirnya, Tji terkena serangan jantung saat Ing meminta maaf di sela-sela Tji menonton televisi. Kesedihan dan rasa bersalah Ing yang menjadi-jadi terpatahkan saat Tji tiba-tiba tertawa lepas karena aksinya untuk membalas Ing berhasil.

Meskipun Ing marah karena pembalasan tersebut, tapi Tji malah tersenyum saat Ing menekuk wajahnya. Bahkan Tji merasakan masakan yang disajikan Ing menjadi sangat lezat meskipun hanya semangkuk mie dan secangkir teh hangat. Namun, dibalik semua itu Tji juga merasa khawatir dan jengkel saat Ing yang tiba-tiba mogok mencuci. Sama seperti aksi mogok kerja yang menjadi berita dalam siaran televisi berbahasa China.

Kemarahan Ing yang ternyata kembali memicu kemarahan Tji itu juga diperlihatkan saat bermain mahjong bersama rekan mereka, Liem (Ferdinandus Suryono). Ing yang menang saat main mahjong tiba-tiba meninggalkan meja. Membuat Tji ikut marah dengan membuat susunan kartu mahjongnya berantakan.

Tinggalah Liem sendiri, duduk dihadapan secangkir teh yang tidak nikmat. Liem hanya terdiam dan melongo. Bingung. Permainan mahjong tidak lagi membuat ketiganya senang dan tertawa lepas.
Minum teh sendiri seperti yang dialami Liem memang tidak menyenangkan. Mengingat teh adalah media yang biasa dilakukan Tji, Ing dan Liem untuk berbagi cerita usai bermain mahjong. 

Hari berganti hari. Tji dan Ing tidak lagi bergerak dari tempat tidurnya. Rumah sepi tidak ada aktivitas apapun. Tji tidak lagi menikmati teh di pagi hari, membetulkan radio atau menonton televisi yang menjadi rutinitasnya. Ing juga tidak membersihkan rumah atau pun mencuci baju.
Padahal di siang harinya, seperti biasa Liem sudah di depan rumah Tji untuk bermain mahjong. ‘Panggilan’ Liem dari garasi rumah tidak mendapat respon apapun. Ia mengintip di balik garasi untuk melihat adakah kemungkinan Tji atau Ing membuka pintu. Tapi Liem tidak mendapati apapun. Hingga malam menjelang, Tji dan Ing tetap tidak bergerak. Posisi tidur mereka tetap sama.
“Ing, saya sangat lapar,” ujar Tji kepada Ing diikuti tawa keduanya di tempat tidur.
Wan An sendiri memiliki struktur cerita yang terjaga dengan baik dengan sedikit kejutan untuk menggugah rasa penonton. Rangkaian visual yang dominan cukup memberi gambaran tentang perasaan tiga karakter di film itu.

Film ini dihadirkan dalam pencahayaan yang low light untuk menghadirkan realita gelap terang dalam rumah yang minim cahaya matahari. Karakter tokoh di dalamnya juga dilengkapi dengan kostum sewajarnya. Baju agak lusuh dengan wajah keriput.

Pemain beradu akting secara alami. Mungkin memang para pemainnya yang sudah terbilang lanjut usia, sehingga mereka bisa dengan mudah menjiwai karakter dalam film. Make up juga tidak dihadirkan secara berlebihan. Rambut beruban dan kurang rapi menunjukkan bahwa aktivitas tokoh di dalamnya hanya ada di dalam rumah. Sedangkan ekspresi tertawa, sedih, menangis juga nampak natural. Terlihat jelas bagaimana perasaan sang pemain saat ditinggalkan pasangannya.

Tata ruang juga mampu menggambarkan cerita dan karakter tokoh yang merupakan keturunan China. Terlihat dari adanya biskuit Kong Guan di meja makan, adanya tempat pemujaan untuk dewa bumi, serta tulisan China dan Asia yang cukup besar di salah satu bagian lemari es. Diperkuat dengan penggunaan bahasa China saat Tji dan Ing bercakap-cakap, serta siaran televisi berbahasa China. 

Hanya saja ada beberapa bagian yang kurang menarik dari film ini. Letak meja saat bermain mahjong terlihat miring dan sangat mengganggu mata penonton. Belum lagi ada bagian yang jumping pada adegan Ing menuangkan air dari ceret saat Tji terkena serangan jantung. Saat akan memegang ceret, Ing nampak terkejut seolah-olah bahwa ceret itu dalam kondisi panas. Ing lalu mengambil serbet dengan tangan kiri untuk mengurangi panasnya ceret saat menuangkan air. Namun, tangan kanan Ing malah memegang bagian lain dari ceret dengan tangan kosong tanpa ekspresi bahwa ceret itu dalam kondisi yang baru saja dipanaskan.

Selain itu, radio yang sebelumnya sudah dibetulkan dan bisa kembali berfungsi saat Tji marah kepada Ing, tiba-tiba dalam posisi dibongkar saat kamera menggambarkan situasi rumah tanpa aktivitas. Meskipun begitu, editing sederhana dalam film ini mampu merepresentasikan kehidupan Tji dan Ing yang juga sederhana.

Cerita film pendek tersebut semakin sempurna karena didukung lagu ‘Saat Aku Lanjut Usia’ milik Sheila on 7 sebagai soundtrack-nya.
‘Saat aku lanjut usia, saat ragaku terasa tua. Tetaplah kau selalu disini, menemani aku bernyanyi. Saat rambutku mulai rontok. Yakinlah ku tetap setia. Memijit pundakmu hingga kau tertidur pulas. Genggam tanganku saat tubuhku terasa linu. Kupeluk erat tubuhmu saat dingin menyerangmu. Kita lawan bersama, dingin dan panas dunia. Saat kaki t’lah lemah kita saling menopang. Hingga nanti di suatu pagi salah satu dari kita mati. Sampai jumpa di kehidupan yang lain.’

Begitulah penggalan lirik lagu tersebut. Lagu yang sangat tepat menggambarkan kesyukuran karena bisa tua bersama pasangan hingga akhir hayat. Kesyukuran sampai ingin kembali dipertemukan dalam kehidupan lain.

Lahir, dewasa, tua dan mati. Siklus hidup yang memang harus dijalani sebagian besar manusia. Wajar jika sebagian dari mereka takut untuk menjadi tua dan tiba-tiba tak lagi bernafas. Ketakutan untuk tidak lagi bisa membuka mata usai mengucapkan selamat malam.

Namun, menjadi tua sebenarnya tidak semenakutkan seperti yang dipikirkan sebagian masyarakat. Menjadi tua ternyata juga menyenangkan. Menikmati setiap detik kehidupan bersama pasangan, mulai dari bangun tidur hingga kembali tertidur. Susah senang menjadi rutinitas yang merupakan kesyukuran terbesar atas hidup yang diberikan Tuhan.

Bangun tidur, diawali dengan kesyukuran saat pasangan masih bisa mengentut, merebus air, menyediakan sarapan hingga tertawa dan berbagi cerita bersama. Saling melengkapi dan mengingatkan ketika salah satunya lupa meletakkan barang. Bahkan saling membantu saat mencuci baju dan menjemur pakaian. Rutinitas yang dipenuhi cerita akan keadaan sekitar sambil tertawa dan saling menjaga.



Penulis merupakan wartawan Kedaulatan Rakyat Yogyakarta yang berdomisili di kota yang sama, penggemar anime yang menulis banyak hal seputar lifestyle dan humaniora.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar