Perempuan
yang sudah tidak lagi muda itu mengerutkan dahinya saat mendengar kentut pagi
hari yang dibuang suaminya. Pemilik rambut hitam semu putih sebahu itu juga
hanya bisa menggelengkan kepala saat melihat suaminya yang kemudian menggaruk
pantat saat mengubah posisi tidur usai kentut.
Di
kamar tidur berukuran sedang dengan tempat tidur yang terbuat dari besi
berwarna hitam itu pula ketakutan dan kematian dari sepasang orangtua itu
bermula. Rumah yang menjadi ‘payung’ kehidupan bagi dua insan manusia untuk
menghabiskan waktunya.
Bangunan
berkonsep sederhana itu menjadi saksi bisu Tji (Hengky Solaiman) dan Ing (Maria
Oentoe) pada film Wan An (dalam bahasa Indonesia berarti selamat malam.red).
Film karya mahasiswa Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta
dengan sutradara Yandy Laurens ini menghadirkan kisah sepasang orangtua yang
mampu melewati hidup bersama di tengah pertikaian politik negara atau
problematika ekonomi. Pasangan yang menanggapi situasi sosial, politik dan
ekonomi secara sederhana dan santai.
Film
tersebut diputarkan pada Sekolah Kebudayaan Jurnalistik Persatuan Wartawan
Indonesia di Hotel Bukit Gumati Batu Tulis Bogor, Minggu (21/7). Wan An
merupakan film yang meraih tiga penghargaan kategori Film Pendek Favorit Pilihan Penonton, Film Pendek Fiksi Naratif
Pilihan Media, dan Film Pendek Fiksi Naratif Terbaik pada XXI Short Film
Festival yang diselenggarakan di Jakarta, 24 Maret 2013.
Tji (Hengky Solaiman) dan Ing (Maria Oentoe) dalam film pendek Wan An |
Cerita itu digulirkan begitu apik. Tiba-tiba
bisa membuat tertawa, tapi juga tiba-tiba membuat hati penonton tersentuh.
Terutama saat Ing tidak bisa tidur karena takut jika salah satu dari mereka
tidak bisa membuka mata lagi saat matahari mulai bersinar. Ketakutan yang
menjadi nyata saat Tji terbangun dan mendapati Ing tak bernafas. Ekspresi
kesedihan dan tangis Tji yang sontak berubah menjadi kemarahan karena Ing
tiba-tiba tertawa lantaran Tji tertipu dengan akting Ing yang pura-pura mati.
Kemarahan Tji
membuat Ing merasa bersalah dan selalu meminta maaf. Hingga akhirnya,
Tji terkena serangan jantung saat Ing meminta maaf di sela-sela Tji menonton
televisi. Kesedihan dan rasa bersalah Ing yang menjadi-jadi terpatahkan saat
Tji tiba-tiba tertawa lepas karena aksinya untuk membalas Ing berhasil.
Meskipun Ing marah karena pembalasan tersebut,
tapi Tji malah tersenyum saat Ing menekuk wajahnya. Bahkan Tji merasakan
masakan yang disajikan Ing menjadi sangat lezat meskipun hanya semangkuk mie
dan secangkir teh hangat. Namun, dibalik semua itu Tji juga merasa khawatir dan
jengkel saat Ing yang tiba-tiba mogok mencuci. Sama seperti aksi mogok kerja
yang menjadi berita dalam siaran televisi berbahasa China.
Kemarahan Ing yang ternyata kembali memicu
kemarahan Tji itu juga diperlihatkan saat bermain mahjong bersama rekan mereka,
Liem (Ferdinandus Suryono). Ing yang menang saat main mahjong tiba-tiba
meninggalkan meja. Membuat Tji ikut marah dengan membuat susunan kartu
mahjongnya berantakan.
Tinggalah Liem sendiri, duduk dihadapan
secangkir teh yang tidak nikmat. Liem hanya terdiam dan melongo. Bingung.
Permainan mahjong tidak lagi membuat ketiganya senang dan tertawa lepas.
Minum teh sendiri seperti yang dialami Liem
memang tidak menyenangkan. Mengingat teh adalah media yang biasa dilakukan Tji,
Ing dan Liem untuk berbagi cerita usai bermain mahjong.
Hari berganti hari. Tji dan Ing tidak lagi
bergerak dari tempat tidurnya. Rumah sepi tidak ada aktivitas apapun. Tji tidak
lagi menikmati teh di pagi hari, membetulkan radio atau menonton televisi yang
menjadi rutinitasnya. Ing juga tidak membersihkan rumah atau pun mencuci baju.
Padahal di siang harinya, seperti biasa Liem sudah
di depan rumah Tji untuk bermain mahjong. ‘Panggilan’ Liem dari garasi rumah
tidak mendapat respon apapun. Ia mengintip di balik garasi untuk melihat adakah
kemungkinan Tji atau Ing membuka pintu. Tapi Liem tidak mendapati apapun.
Hingga malam menjelang, Tji dan Ing tetap tidak bergerak. Posisi tidur mereka
tetap sama.
“Ing, saya sangat lapar,” ujar Tji kepada Ing
diikuti tawa keduanya di tempat tidur.
Wan
An sendiri memiliki struktur cerita yang terjaga dengan baik dengan sedikit
kejutan untuk menggugah rasa penonton. Rangkaian visual yang dominan cukup
memberi gambaran tentang perasaan tiga karakter di film itu.
Film
ini dihadirkan dalam pencahayaan yang low
light untuk menghadirkan realita gelap terang dalam rumah yang minim cahaya
matahari. Karakter tokoh di dalamnya juga dilengkapi dengan kostum sewajarnya.
Baju agak lusuh dengan wajah keriput.
Pemain
beradu akting secara alami. Mungkin memang para pemainnya yang sudah terbilang
lanjut usia, sehingga mereka bisa dengan mudah menjiwai karakter dalam film. Make up juga tidak dihadirkan secara
berlebihan. Rambut beruban dan kurang rapi menunjukkan bahwa aktivitas tokoh di
dalamnya hanya ada di dalam rumah. Sedangkan
ekspresi tertawa, sedih, menangis juga nampak natural. Terlihat jelas bagaimana
perasaan sang pemain saat ditinggalkan pasangannya.
Tata
ruang juga mampu menggambarkan cerita dan karakter tokoh yang merupakan
keturunan China. Terlihat dari adanya biskuit Kong Guan di meja makan, adanya
tempat pemujaan untuk dewa bumi, serta tulisan China dan Asia yang cukup besar
di salah satu bagian lemari es. Diperkuat dengan penggunaan bahasa China saat
Tji dan Ing bercakap-cakap, serta siaran televisi berbahasa China.
Hanya
saja ada beberapa bagian yang kurang menarik dari film ini. Letak meja saat
bermain mahjong terlihat miring dan sangat mengganggu mata penonton. Belum lagi
ada bagian yang jumping pada adegan
Ing menuangkan air dari ceret saat Tji terkena serangan jantung. Saat akan
memegang ceret, Ing nampak terkejut seolah-olah bahwa ceret itu dalam kondisi
panas. Ing lalu mengambil serbet dengan tangan kiri untuk mengurangi panasnya
ceret saat menuangkan air. Namun, tangan kanan Ing malah memegang bagian lain
dari ceret dengan tangan kosong tanpa ekspresi bahwa ceret itu dalam kondisi
yang baru saja dipanaskan.
Selain
itu, radio yang sebelumnya sudah dibetulkan dan bisa kembali berfungsi saat Tji
marah kepada Ing, tiba-tiba dalam posisi dibongkar saat kamera menggambarkan
situasi rumah tanpa aktivitas. Meskipun begitu, editing sederhana dalam film
ini mampu merepresentasikan kehidupan Tji dan Ing yang juga sederhana.
Cerita
film pendek tersebut semakin sempurna karena didukung lagu ‘Saat Aku Lanjut
Usia’ milik Sheila on 7 sebagai soundtrack-nya.
‘Saat
aku lanjut usia, saat ragaku terasa tua. Tetaplah kau selalu disini, menemani
aku bernyanyi. Saat rambutku mulai rontok. Yakinlah ku tetap setia. Memijit
pundakmu hingga kau tertidur pulas. Genggam tanganku saat
tubuhku terasa linu. Kupeluk erat tubuhmu saat dingin menyerangmu. Kita lawan
bersama, dingin dan panas dunia. Saat kaki t’lah lemah kita saling menopang.
Hingga nanti di suatu pagi salah satu dari kita mati. Sampai jumpa di kehidupan
yang lain.’
Begitulah penggalan lirik lagu tersebut. Lagu
yang sangat tepat menggambarkan kesyukuran karena bisa tua bersama pasangan
hingga akhir hayat. Kesyukuran sampai ingin kembali dipertemukan dalam
kehidupan lain.
Lahir,
dewasa, tua dan mati. Siklus hidup yang memang harus dijalani sebagian besar
manusia. Wajar jika sebagian dari mereka takut untuk menjadi tua dan tiba-tiba
tak lagi bernafas. Ketakutan untuk tidak lagi bisa membuka mata usai
mengucapkan selamat malam.
Namun,
menjadi tua sebenarnya tidak semenakutkan seperti yang dipikirkan sebagian
masyarakat. Menjadi tua ternyata juga menyenangkan. Menikmati setiap detik
kehidupan bersama pasangan, mulai dari bangun tidur hingga kembali tertidur.
Susah senang menjadi rutinitas yang merupakan kesyukuran terbesar atas hidup
yang diberikan Tuhan.
Bangun
tidur, diawali dengan kesyukuran saat pasangan masih bisa mengentut, merebus
air, menyediakan sarapan hingga tertawa dan berbagi cerita bersama. Saling
melengkapi dan mengingatkan ketika salah satunya lupa meletakkan barang. Bahkan
saling membantu saat mencuci baju dan menjemur pakaian. Rutinitas yang dipenuhi
cerita akan keadaan sekitar sambil tertawa dan saling menjaga.
Penulis merupakan wartawan Kedaulatan Rakyat Yogyakarta yang berdomisili di kota yang sama, penggemar anime yang menulis banyak hal seputar lifestyle dan humaniora.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar