Merebut Kembali Definisi Punk
Dewa Made Karang Mahardika
(Menanggapi isu rancangan peraturan daerah oleh pemerintah
kota Palembang tentang penertiban punk, dan didedikasikan bagi scene
tercinta.)
"Aku menentang imej yang mereka harap aku menjadi seperti apa."--Symbols (1995), Refused.
Setiap orang tentu memiliki definisinya sendiri untuk menerjemahkan punk, bahkan bagi individu-individu yang memilih untuk menjadikan punk sebagai jalan hidupnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa punk lahir sebagai bentuk penolakan sekelompok kecil masyarakat dalam melawan kultur dominan. Di era awal kelahiran di negeri asalnya Inggris, punk lebih sebagai subkultur yang mengadopsi Situasionis Internasional—grup gerakan seni radikal—dalam menentang budaya kemapanan yang dikukuhkan oleh moralitas masyarakat. Mereka berusaha keluar dari konstruksi budaya massa melalui alternatif-alternatif yang coba mereka buat sendiri, menciptakan fashion, membuat lagu, mencetak poster, membuat media dan membangun jejaring sesama komunitas. Singkatnya, mereka mencoba membangun sebuah ruang budaya otonom. Lantas, dari sebuah subkultur yang berupaya melawan etika dan budaya induknya melalui budaya tandingan atau alternatif, punk berkembang menjadi sebuah kritik tidak hanya pada kultur utamanya—yang kala itu disimbolkan pula oleh industri rekaman musik besar—melainkan juga pada otoritas negara dan kondisi sosial yang terjadi. Punk menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari gerakan politis feminisme, aktivisme literasi, environmentalis, anti rasis, anti perang, anti neoliberalisme, perjuangan hak-hak kaum buruh, perlindungan satwa, pendistribusian makanan gratis, dan berbagai bentuk aksi memerangi ketidakadilan, baik yang dituangkan dalam bentuk lirik lagu, esai, ataupun aksi-aksi langsung tanpa menjadi bagian kompromis dari partai politik dan lembaga swadaya masyarakat manapun. Mereka lebih memilih membentuk grup-grup resistensi kecil berprinsip egaliter dan konsensus yang tidak bergantung pada seberapa besar jumlah anggota dalam grup, namun lebih bersandar pada partispasi aktif tiap personilnya.
Lantas bagaimana dengan Palembang? Kota
merupakan penampung beragam budaya yang tidak cuma berdiri pada ranah
ketradisionalan semata. Dan sebagai kota yang berkembang pesat,
tidaklah aneh bila Palembang menjadi bagian dari tumbuhnya punk secara
dinamis sama halnya dengan kota-kota lain di Indonesia. Di Palembang,
kaum ini mulai terlihat gejala kelahirannya di akhir 90-an hingga awal
milenium. Masa transisi ini merupakan saat-saat yang begitu sulit untuk
mereka lewati. Meski tidak membutuhkan sebuah pengakuan akan
eksistensinya, khalayak umum belum mendapatkan definisi yang tepat
untuk menamai sekelompok pemuda berdandan aneh yang saat itu kerap
bergerombol di belakang pusat pertokoan di bilangan jalan Kolonel Atmo
Palembang ini. Berbeda sekali dengan satu dekade lebih setelahnya, di
saat media telah dengan masif membuat beragam pemberitaan tentangnya
seperti sekarang, dan berhasil memberi pemahaman kepada masyarakat
tentang pendefinisan itu meskipun mungkin sebatas kulit luarnya saja.
Meskipun berulangkali wacana tentang asal-usul punk telah menjadi
kajian sosial budaya, hingga saat ini masyarakat umum—sebagai hakim
mayoritas yang memiliki penilaian baik dan buruknya sesuatu—lebih
berada di sisi yang melihat punk tidak lebih dari sekumpulan pembuat
onar dan sampah masyarakat yang mengalami disorientasi arah dan perlu
untuk diluruskan.
Di Indonesia sendiri, di awal hingga
pertengahan 90-an, punk mulai diadopsi oleh kaum muda kota-kota besar
seperti Jakarta, Bandung, dan Jogjakarta. Ia tidaklah lahir dari bagian
terbawah kelas sosial seperti di negeri asalnya, tapi justru
diapresiasi oleh masyarakat lapisan ekonomi menengah. Di sini, Punk
dianggap mampu memediasi penolakan mereka terhadap pendisiplinan yang
dilakukan oleh keluarga dan sekolah, serta dirasa merupakan bentuk
penolakan ketertundukan pada nilai-nilai dalam masyarakat, yang
disuarakan melalui studio-studio musik dan panggung-panggung kecil,
juga divisualisasi secara simbolik melalui seni tato dan body piercing.
Budaya literasi melalui terbitan-terbitan komunitas (zine) yang
merupakan media komunikasi perlahan mulai terbangun.
Informasi-informasi seputar agenda komunitas, rilisan album dan profil
band-band didapat dari media ini. Gejolak ekonomi dan politik di
Indonesia di akhir 90-an turut membentuk aura politis dalam komunitas
punk yang mulai memposisikan peran mereka dalam budaya perlawanan.
Seperti halnya musik, para editor zine dalam komunitas ini menggunakan
zine sebagai sarana alternatif penyampai gagasan-gagasan ideologis
terutama yang tidak mendapat tempat di media arus utama. Disinilah
komunitas ini mendapat pendidikan politik khas jalanan.
Sejak
sistem jual beli menjadi panutan dunia modern dan berkembang menjadi
sebuah ideologi yang mendominasi dalam bentuk konsumerisme, setiap hal
dikomodifikasi tidak terkecuali punk. Konsumerisme melahirkan sebuah
budaya palsu yang menjadikan dunia berisi manusia-manusia pasif melalui
keseragaman yang mereka ciptakan, dan memposisikan manusia hanya
sebagai penonton. Kapitalisme menciptakan dunia konsumsi yang
mengerdilkan keberdayaan manusia dengan membuat sebuah pola
seolah-seolah segala sesuatu bisa diselesaikan hanya dengan uang dan
produk-produk yang mereka tawarkan. Setelah berhasil menjual
simbol-simbol pemberontakan dan membangun tren semangat kebebasan yang
diwakili oleh citra semisal Che Guevara dan Bob Marley, pihak industri
melihat punk sebagai sebuah produk yang berdaya besar untuk dijual.
Punk digiring ke dalam arus utama bagian spektakuler budaya pop.
Sebagai khalayak yang hidup dalam aura konsumerisme, masyarakat terutama kaum pemuda menjadikan punk sebagai sebuah citra diri bahkan tanpa mereka mengenal lebih jauh tentang apa dan bagaimana punk itu sebetulnya. Realitas yang didapat secara instan ini menjerat pemahaman individu-individu yang terjebak dalam dekadensi tentang makna anti kemapanan. Menggelandang di jalanan dipahami sebagai salah satu bentuk anti kemapanan, meski sebenarnya leluhur punk semisal Crass, Discharge dan lain-lain justru melihat anti kemapanan sebagai negasi terhadap norma-norma hasil dari logika formal masyarakat. Seperti apa yang diteriakkan oleh Crass dalam lagu mereka berjudul Punk Is Dead: "Punk menjadi tren seperti halnya kaum hippy dulu!" Perlahan punk menemukan kontradiksinya sendiri: ia menjadi sebuah identitas.
Sebagai khalayak yang hidup dalam aura konsumerisme, masyarakat terutama kaum pemuda menjadikan punk sebagai sebuah citra diri bahkan tanpa mereka mengenal lebih jauh tentang apa dan bagaimana punk itu sebetulnya. Realitas yang didapat secara instan ini menjerat pemahaman individu-individu yang terjebak dalam dekadensi tentang makna anti kemapanan. Menggelandang di jalanan dipahami sebagai salah satu bentuk anti kemapanan, meski sebenarnya leluhur punk semisal Crass, Discharge dan lain-lain justru melihat anti kemapanan sebagai negasi terhadap norma-norma hasil dari logika formal masyarakat. Seperti apa yang diteriakkan oleh Crass dalam lagu mereka berjudul Punk Is Dead: "Punk menjadi tren seperti halnya kaum hippy dulu!" Perlahan punk menemukan kontradiksinya sendiri: ia menjadi sebuah identitas.
Do It Yourself dan Do It With Your Friends
Jauh
hari setelah badai sistem ekonomi pasar yang dilegitimasi oleh negara
menghajar, pada hakekatnya kaum punk memiliki sebuah filosofi
kemandirian yang dikenal dengan istilah Do It Yourself. Dalam terjemahan bebas, Do It Yourself
(DIY) bermakna melakukan atau mengerjakan sendiri sesuatu, atau lebih
sederhananya lagi, DIY berarti semangat dan praktek kemandirian dalam
melakukan apa saja yang diinginkan oleh seorang individu. DIY lahir
sebagai sebuah konsep kesadaran individual yang tidak sepakat dengan
kerja-kerja formal, dan juga untuk meredam bahkan meniadakan
ketergantungan manusia dengan produk atau barang-barang yang
diperjualbelikan. Dalam perjalanan panjang punk, DIY menjadi semangat
yang tak terlepaskan dari aksi keseharian mereka dengan berpandangan
bahwa setiap individu berhak berimajinasi dan mewujudkan impiannya.
Bila punk merupakan protes terhadap kontrol ekonomi pasar dan kondisi
sosial yang terjadi, maka DIY adalah metode alternatifnya. Keduanya
merupakan ketidakpuasan terhadap kondisi dunia yang membosankan dan
kritik terhadap budaya dominan yang menuntut keseragaman.
DIY merupakan sebuah jawaban atas kebebasan ide dari keinginan yang senantiasa terkurung dan dihakimi oleh pendapat mayoritas, dan sebuah cerminan bahwa setiap individu berhak atas alat-alat produksi dan berpartisipasi pada prosesnya sehingga berhak memutuskan minat dan kebutuhan apa yang hendak dikonsumsi tanpa menghapuskan kesenangan-kesenangan individual didalamnya. Intinya tidak ada keterpaksaan yang membatasi saat menjalani sebuah pilihan. Batasan-batasan itu justru melenyap ketika setiap orang menyadari potensi yang ada didalam dirinya, dan menomorduakan titik pencapaian atau hasil, tetapi lebih menikmati proses yang mesti dijalani.
DIY merupakan sebuah jawaban atas kebebasan ide dari keinginan yang senantiasa terkurung dan dihakimi oleh pendapat mayoritas, dan sebuah cerminan bahwa setiap individu berhak atas alat-alat produksi dan berpartisipasi pada prosesnya sehingga berhak memutuskan minat dan kebutuhan apa yang hendak dikonsumsi tanpa menghapuskan kesenangan-kesenangan individual didalamnya. Intinya tidak ada keterpaksaan yang membatasi saat menjalani sebuah pilihan. Batasan-batasan itu justru melenyap ketika setiap orang menyadari potensi yang ada didalam dirinya, dan menomorduakan titik pencapaian atau hasil, tetapi lebih menikmati proses yang mesti dijalani.
DIY tidak berarti setiap
individu melakukan segala sesuatunya sendiri-sendiri. Peran orang-orang
terutama dalam komunitas saling berkaitan. Berbeda dengan dunia
komodifikasi yang membuat jarak dan memisahkan antara penjual dan
pembeli, DIY justru menjadi media yang mempererat pertemanan dalam
komunitas. Ini diwujudkan seperti ketika beberapa individu merintis
sebuah band lalu memproses rekaman secara independen, mengorganisir
sebuah pertunjukan musik atau saling bertukar rekaman dan
informasi-informasi melalui workshop bersama. Di sini lah jejaring mutual
itu terbangun untuk dapat saling melengkapi kebutuhan masing-masing.
Katakanlah seseorang memproduksi pin, lalu distro (distributor outlet)
individu lain yang mendistribusikannya. Atau ketika seorang individu
lebih suka mendesain tas, mengajak individu lain yang lebih suka
menjahit. Atau ketika seorang individu membuat komik dan ingin
mentranslitnya ke dalam bahasa Inggris tapi mengalami keterbatasan
dipersoalan bahasa, ia bisa meminta bantuan pada individu lain yang
memiliki kemampuan untuk itu tanpa lantas selamanya menggantungkan diri
padanya. DIY merupakan media antar individu dan grup untuk dapat saling
belajar dan bekerjasama tanpa harus bergantung pada apapun, karena
sikap ketergantungan ini yang seringkali menjadi penghambat dalam
melakukan dan mengerjakan sesuatu.
Bila dulu hidup di
jalan-jalan dikarenakan tekanan ekonomi yang meniadakan pilihan lain
selain opsi tersebut, maka kini hedonisme di jalanan merupakan sebuah
pilihan yang bebas untuk dilakukan bagi siapapun, namun tetap menjadi
masalah—bahkan bagi kalangan punk itu sendiri—bila lantas menjadi
pengganggu kenyamanan manusia sekitarnya. Punk merupakan fenomena
sosial yang tidaklah misterius dan tidak sulit untuk dipetakan akar
permasalahannya. Disini terlihat, bahwa selama penindasan dan
ketidakadilan tetap eksis di muka bumi, maka selama itu pula punk tidak
akan pernah terkubur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar