Analisa Gender pada Lagu Ismail Marzuki
Dewa Made Karang Mahardika
Kolase: Dewa Made Karang Mahardika |
Diciptakan alam pria dan wanita
Dua makhluk jaya asuhan dewata
Ditakdirkan bahwa pria berkuasa
Adapun wanita lemah lembut manja
Wanita dijajah pria sejak dulu
Dijadikan perhiasan sangkar madu
Namun ada kala pria tak berdaya
Tekuk lutut disudut kerling wanita
Saya
percaya, bahwa dasar Ismail marzuki tatkala menulis lagu ini
berdasarkan intuisinya terhadap teori penciptaan Adam dan Hawa, yang
dipercaya sebagai sepasang manusia pertama di muka dunia, seperti yang
tersangkut di baris lirik, “Diciptakan alam pria dan wanita, dua makhluk jaya asuhan dewata.”
Merunut sejarah jauh ke belakang, peran laki-laki dan perempuan berada
dalam kesetaraan. Dengan asumsi naluri hewani bahwa siapapun dan apapun
jenis kelaminnya, yang memperoleh sumber nutrisi maka dia yang berhak
membagikannya. Tapi asumsi ini juga melihat fakta metode hidup
berkelompok yang dilakukan oleh masyarakat pra agrikultur yang sangat
mungkin memiliki strategi-strategi dalam pertahanan hidup dan mengolah
sumber daya yang dilakukan secara koperatif.
Cikal bakal dominasi laki-laki bermula sejak berlakunya sistem kepemilikan yang ditandai dengan penguasaan lahan-lahan pertanian dari kaum-kaum pencocok tanam oleh kaum pemburu nomaden. Kaum pencocok tanam pula awalnya merupakan bagian dari kelompok-kelompok kecil yang acap berpindah dari satu tempat ke tempat lain mengikuti pola migrasi binatang buruan yang menjadi sumber utama makanan mereka. Krisis ekologi saat itu, yang ditandai dengan kondisi suhu panas dan dingin yang labil alias tidak konstan, menjadi salah satu penyebab kelaparan penghuni awal planet ini. Mereka yang tidak bisa beradaptasi menemui ajal. Sementara, sisanya mesti mencari tempat bernaung yang baru. Adaptasi yang saya maksud disini, beberapa dari kelompok manusia purba pada saat mulai menganalisa alam raya. Menaksir arah perpindahan binatang buruan, mempelajari siklus pertumbuhan tanaman umbi-umbian dan mengatur persediaan makanan termasuk mengurung anak dari binatang buruan. Untuk itu mereka harus menetap di satu tempat. Kemampuan ini juga diringi dengan kemajuan pada alat-alat yang digunakan untuk melakukan perburuan. Dari batu dan kayu, menjadi logam, yang kelak juga menjadi senjata penundukan antar kelompok. Di masa ini, belum terlihat adanya gejala dominasi gender.
Analisa sederhana saya, siapa sangka bahwa dominasi ini justru kelak terbentuk oleh pendefinisian kerja secara seksual yang awalnya merupakan pembagian peran dan tanggung jawab: laki-laki berburu, perempuan menjaga ladang dan memomong anak-anak mereka. Peran domestikasi yang merumuskan formasi gender bermula dari sini. Seperti yang dipaparkan pula oleh John Zerzan dalam esai Patriarki, Peradaban, dan Asal-usul Gender, tentang penundukan yang mula-mula terjadi pada masa agrikultur. Pola ini menjadikan kaum laki-laki lebih memiliki kekuatan secara fisik dibanding kaum perempuan. Awalnya tidak ada masalah. Hingga kebiasaan ini mengakar kuat untuk beberapa masa setelahnya. Terjadi perang antar kelompok untuk menguasai sumber-sumber pertanian. Kaum laki-laki terbunuh, dan perempuan-perempuan mulai dimiliki oleh sang penakluk sebagai budak dan objek seksual. Domestikasi? tentu terus berjalan.
Cikal bakal dominasi laki-laki bermula sejak berlakunya sistem kepemilikan yang ditandai dengan penguasaan lahan-lahan pertanian dari kaum-kaum pencocok tanam oleh kaum pemburu nomaden. Kaum pencocok tanam pula awalnya merupakan bagian dari kelompok-kelompok kecil yang acap berpindah dari satu tempat ke tempat lain mengikuti pola migrasi binatang buruan yang menjadi sumber utama makanan mereka. Krisis ekologi saat itu, yang ditandai dengan kondisi suhu panas dan dingin yang labil alias tidak konstan, menjadi salah satu penyebab kelaparan penghuni awal planet ini. Mereka yang tidak bisa beradaptasi menemui ajal. Sementara, sisanya mesti mencari tempat bernaung yang baru. Adaptasi yang saya maksud disini, beberapa dari kelompok manusia purba pada saat mulai menganalisa alam raya. Menaksir arah perpindahan binatang buruan, mempelajari siklus pertumbuhan tanaman umbi-umbian dan mengatur persediaan makanan termasuk mengurung anak dari binatang buruan. Untuk itu mereka harus menetap di satu tempat. Kemampuan ini juga diringi dengan kemajuan pada alat-alat yang digunakan untuk melakukan perburuan. Dari batu dan kayu, menjadi logam, yang kelak juga menjadi senjata penundukan antar kelompok. Di masa ini, belum terlihat adanya gejala dominasi gender.
Analisa sederhana saya, siapa sangka bahwa dominasi ini justru kelak terbentuk oleh pendefinisian kerja secara seksual yang awalnya merupakan pembagian peran dan tanggung jawab: laki-laki berburu, perempuan menjaga ladang dan memomong anak-anak mereka. Peran domestikasi yang merumuskan formasi gender bermula dari sini. Seperti yang dipaparkan pula oleh John Zerzan dalam esai Patriarki, Peradaban, dan Asal-usul Gender, tentang penundukan yang mula-mula terjadi pada masa agrikultur. Pola ini menjadikan kaum laki-laki lebih memiliki kekuatan secara fisik dibanding kaum perempuan. Awalnya tidak ada masalah. Hingga kebiasaan ini mengakar kuat untuk beberapa masa setelahnya. Terjadi perang antar kelompok untuk menguasai sumber-sumber pertanian. Kaum laki-laki terbunuh, dan perempuan-perempuan mulai dimiliki oleh sang penakluk sebagai budak dan objek seksual. Domestikasi? tentu terus berjalan.
Maka saya berseberang pendapat bahwa perempuan ditakdirkan seperti: “Adapun wanita lemah lembut manja.”
Kalaupun acuan Ismail Marzuki melihat kelemahlembutan kaum hawa ini
tercipta dari sebuah kebiasaan dalam masyarakat terdahulu dalam pola
pembagian kerja dan pada akhirnya menjadi psikologis yang terpakemkan,
maka tentu saja baris lirik ini bisa berubah.
Lalu pada baris ini, “Wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu,”
Ismail Marzuki dengan lugas menyampaikan penindasan kaum perempuan
dalam frame “kepemilikan” cinta kasih. Kepemilikan dalam bentuk ini
yang juga menyulut perang-perang besar semacam Perang Troya, legenda
historis klasik (mitologi) Yunani. Yang jadi masalah, penindasan kaum
perempuan tidak melulu tentang kisah kasih dengan beragam intrik
didalamnya. Tidak pula semata-mata mengenai urusan poligami atau kawin
kontrak, berlakunya jam malam dan relasi seksual di atas ranjang, atau
juga ia yang menyusup ke dapur dan sumur. Dengan gampang bisa kita
lihat perempuan menjadi sasaran empuk para produsen, terutama industri
kecantikan — ya itu tadi, supaya: “Namun ada kala pria tak berdaya, tekuk lutut disudut kerling wanita.”
Lantas apa nasib kaum perempuan berubah ketika para laki-laki obsesif
yang mengejar cinta seorang perempuan membuatkan seribu candi, atau
ketika saat kini banyak kaum perempuan mendapat porsi lebih dalam
strata sosial seiring wacana kesetaraan gender berada di posisi yang
lebih dari sekedar pekerja pabrik dan tenaga kerja asing yang kerap
menjadi objek kekerasan seksual?
Ismail Marzuki, atau
yang akrab dipanggil Ma’ing, yang di saat-saat itu juga memberi les
bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan Jerman demi menafkahi
keluarganya, dikenal luas sebagai seorang komposer yang melahirkan
karya-karya melegenda. Lagu-lagu ciptaannya yang beberapa diantaranya
dianggap menggelorakan jiwa para pejuang tempo dulu memberinya predikat
pahlawan nasional. Maka siapa yang tak kenal dengan lagu Halo-Halo
Bandung — yang meski masih dalam area kontroversi kepenciptaanya — atau
lagu Sepasang Mata Bola, atau Selendang Sutera? Kecerdasannya menggubah
lagu bisa kita lihat dalam lagu yang sedang kau simak saat ini, Sabda
Alam, yang begitu melekat di kepala banyak orang termasuk saya, tentang
bagaimana kondisi sosial keperempuanan yang terjadi didepan matanya.
Seperti yang dituturkan oleh putrinya, Rachmi Aziah, bahwa sebagian besar karya-karya Ismail berdekatan dengan segala sesuatu yang terjadi disekitarnya. Dan meskipun mendapat anugerah luar biasa sebagai pahlawan nasional, dan namanya diabadikan oleh Ali Sadikin sebagai nama pusat kesenian dan kebudayaan di Jakarta, putri Ismail Marzuki, perempuan satu-satunya dari dirinya yang tersisa, mesti hidup dalam kenyataan klasik bagi keturunan pejuang negeri ini: hidup serba kekurangan. Dalam sebuah wawancara dengan TV, Rachmi mengatakan bahwa royalti yang biasa diterimanya kini sudah dihentikan, karena karya bapaknya sudah berumur lebih dari lima puluh tahun dan sudah menjadi domain publik.
Seperti yang dituturkan oleh putrinya, Rachmi Aziah, bahwa sebagian besar karya-karya Ismail berdekatan dengan segala sesuatu yang terjadi disekitarnya. Dan meskipun mendapat anugerah luar biasa sebagai pahlawan nasional, dan namanya diabadikan oleh Ali Sadikin sebagai nama pusat kesenian dan kebudayaan di Jakarta, putri Ismail Marzuki, perempuan satu-satunya dari dirinya yang tersisa, mesti hidup dalam kenyataan klasik bagi keturunan pejuang negeri ini: hidup serba kekurangan. Dalam sebuah wawancara dengan TV, Rachmi mengatakan bahwa royalti yang biasa diterimanya kini sudah dihentikan, karena karya bapaknya sudah berumur lebih dari lima puluh tahun dan sudah menjadi domain publik.
Melalui Sabda Alam, Ismail Marzuki mencoba
mengangkat realita perempuan dimatanya dan dimasanya. Sialnya, dunia
modern seringkali melupakan masa-masa di saat laki-laki dan perempuan
saling berbagi peran dengan bersama-sama mewujudkan impian bersama.
Kalaupun alam mensabda agar perempuan tunduk dalam dominasi laki-laki,
maka kita patut melanggarnya, bukan?
Maka percayalah, ini bukan takdir.
Maka percayalah, ini bukan takdir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar