Jumat, 26 Juli 2013

Vebri Al Lintani: Kisah Tentang Dunia Peran dan di Balik Sejarah Wayang Palembang

Dewa Made Karang Mahardika

Vebri Al Lintani mengenal dunia teater dari Teater Kembara, dan mempelajarinya kemudian di Teater Gaung, walaupun ini bukan pengalaman pertamanya dalam seni peran.

 Tahun 1984 merupakan waktu dimana Ia pentas teater untuk pertama kalinya. Sejak kecil Ia telah mengenal seni. Dan beranjak remaja, Ia menyukai aktivitas menulis puisi dan membaca karya-karya eseis dan budayawan Indonesia. Tiga tahun kemudian, Vebri mulai tertarik dengan musik, dan belajar secara otodidak. Tahun 1991, Vebri mempelajari teknik penulisan naskah dan penyutradaraan di kampus Tridinanti Plaju. Sejak ini, Vebri telah menyutradarai banyak pertunjukan teater di Palembang. Naskahnya yang Ia anggap paling berkesan berjudul “Gadis Perawan di Sarang Jabalan,” yang disutradarai oleh Amir Hamzah, di bawah penilaian personil Teater Koma.
 
Menurut Vebri, peran sutradara meliputi manajerial dalam artistik dan mengelola seniman dengan mempertimbangkan segi potensi ataupun psikologi. Selain bakat, seorang sutradara harus dapat mengelola grafik pengadeganan dan memiliki pemahaman pada pengetahuan umum. Vebri melihat kualitas pementasan teater umum di Palembang cenderung menurun bila dibandingkan dengan era 70 hingga 80-an, namun secara kuantitas terjadi banyak peningkatan terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa. Penurunan antusiasme pertunjukan teater dalam masyarakat juga terjadi. Banyak hal yang mendorong terjadinya ini. Kemajuan teknologi visual di dunia entertainment menjadi salah satu penyebabnya. Masyarakat cenderung lebih memilih televisi dan internet bila dibandingkan dengan menonton pentas teater. Kondisi ini diperburuk dengan budaya konsumer yang menghilangkan minat remaja dalam mengapresiasi karya seni dan menyurutkan daya kreativitas.

Faktor lain yang membuat produktivitas karya menurun yaitu berkurangnya prasarana latihan. Bila dulu segala aktivitas berlatih dilakukan di Taman Budaya yang berlokasi strategis dan berjarak ideal, kini dipindahkan ke Jaka Baring yang relatif lebih jauh. “Tentu saja ini cukup menguras energi yang berimbas pada penurunan konsentrasi untuk berlatih,” ujar Vebri

Pada acara Refleksi Seni dan Penganugerahan Seni Batanghari Sembilan 2011, Vebri dipercaya sebagai sosok yang menyutradarai acara ini dengan tajuk “Ukir Gelung Negak Belabar Kawat,” yang berasal dari bahasa Palembang halus, dan berkisah tentang sayembara yang diadakan oleh raja bernama Ukir Gelung untuk mencari pedamping putrinya melalui adu kesaktian. Menurutnya event ini merupakan wujud sebuah refleksi yang dikemas dalam bentuk kesenian, dan diharap menjadi bingkai dari acara-acara terdahulu. Acara ini akan menampilkan pertunjukkan wayang Palembang yang dirakit sedemikian rupa dengan perpaduan musik pop, tari, irama melayu, dan Batanghari Sembilan.

Belum dapat diketahui secara pasti, kapan seni perwayangan masuk ke Palembang. Belum ditemukan catatan-catatan sejarah yang bisa memperkuat bukti-bukti. Sejarah hanya mencatat bahwa sejak masa perang dunia pertama hingga masa penjajahan Jepang, terdapat beberapa dalang wayang Palembang yang kini telah menjadi mendiang. Sebutlah dalang Abbas dari kampung 30 Ilir, Hanan dari 17 Ilir, Abdul Rohim dari 1 Ulu, Agus dari 17 Ilir, Hanan dari 14 Ilir Terusan, Muhammad Rasyid dan putranya Muhammad Rusdi Rasyid dari 36 Ilir.

Mengenai sejarah wayang Palembang, ketua program di Dewan Kesenian Palembang ini punya pendapat tersendiri. Menurutnya, budaya Jawa mulai masuk di saat kerajaan Sriwijaya mulai mengalami keruntuhan. Saat itu kerajaan Majapahit mulai menempatkan beberapa wakilnya ke Sumatera, walaupun sesungguhnya itu di luar batas kuasa Raja Majapahit. Terjadi kekosongan kekuasaan untuk sementara waktu, sampai akhirnya Prabu Brawijaya mengangkat Jaka Dilah menjadi raja di Palembang dengan gelar Arya Damar, yang juga dikenal sebagai Arya Dilah. Istri Arya Damar--seorang putri cina yang sebelumnya merupakan istri dari Brawijaya yang tengah mengandung-- melahirkan seorang putra bernama Raden Fatah. Setelah dewasa, Raden Fatah berangkat ke tanah Jawa dan berguru dengan Sunan Ampel. Sejak itu Raden Fatah menjadi pendakwah, termasuk metode dakwah melalui pendekatan pola kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat dan diantaranya adalah seni perwayangan.

Raden Fatah dipercaya sebagai orang yang membawa budaya wayang masuk ke Palembang sebagai media berdakwah yang lalu digunakan juga sebagai medium untuk menghibur keluarga keraton. Namun adanya pertunjukan wayang di dalam keraton sendiri masih diragukan oleh Vebri, mengingat berlaku sistem keislaman yang ketat di dalam keraton, yang mengharamkan entertainment kecuali itu berhubungan dengan dakwah dan bernuansa islami, semisal gambus dan rebana. Meski begitu tidak tertutup kemungkinan terjadinya akulturasi yang bisa dilihat dari beberapa bukti yang tersisa, baik itu dalam bahasa yang digunakan sehari-hari ataupun pada sistem penggelaran.pada strata masyarakat. Dalam perjalanannya yang panjang semenjak memasuki wilayah Sumatera, wayang Palembang bersentuhan dengan budaya setempat, mengadopsi unsur-unsur budaya lokal, terutama adalah penggunaan bahasa Palembang dalam narasi maupun dialog. Penyerapan kultur dari pulau Jawa ini yang dipadan dengan budaya melayu, membuat kemungkinan bahwa wayang Palembang berasal dari pulau Jawa tak bisa ditampik.



Penulis adalah aktivis media alternatif gratis di skena hardcore punk Kota      Palembang, yang tertarik pada dadaisme, seni kolase, bir dan radiohead. Saat ini menjadi pewarta ekonomi bagi Majalah Kinerja Bank di Palembang. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar