Jumat, 26 Juli 2013

Kisah Para Penonton Dibalik Layar

Dewa Made Karang Karang

"Jangan hanya menjadi penonton, jangan biarkan hidup berlalu begitu saja"--Lou Holtz






Lebih dari satu abad silam, atau tepatnya di tahun 1878, Eadweard James Muybridge, seorang fotografer Inggris yang juga pengelana, untuk kali pertama mengenalkan teknik objek gambar bergerak dengan menggunakan kameranya. Sesungguhnya gambar-gambar itu tidak nyata-nyata bergerak, hanya saja, kecepatan dan akurasi jepretan kameranya mampu membuat 16 frame secara berurutan. Penemuan gambar bergerak inilah yang bisa disebut menginspirasi sebuah potongan film pertama kali di dunia pada satu dekade setelahnya, yakni film yang mendekati apa yang kita kenal seperti sekarang. Cuplikan yang disutradarai oleh Louis Le Prince asal Prancis itu berdurasi 2 detik dan dinamai "Roundhay Garden Scene". Dan pada 1895, dua bersaudara asal Perancis yakni Auguste Marie Louis Nicolas dan Louis Jean yang lebih dikenal sebagai Lumiere bersaudara, mengadakan pemutaran beberapa film produksi mereka di hadapan publik sebagai pemutaran film pertama di dunia.

Film merupakan kombinasi dari tiga media utama yakni yang tidak dapat saling berlepasan yakni kinetograph yang berfungsi sebagai alat perekam gerak, lalu kinetoscope yang berfungsi untuk memproyeksikan gerak, dan phonograph yang berdaya merekam suara. Tahun 1903, sebuah aksi perampokan kereta besar-besaran yang terjadi di Amerika menginspirasi Thomas Edison untuk menulis film berdurasi dua belas menit yang dirilis pertama kali di dunia berjudul "The Great Train Robbery".

Tabir sejarah perfilman Indonesia dibuka dengan film yang diangkat dari legenda Jawa Barat berjudul "Loetoeng Kasaroeng" pada tahun 1926, yang meski merupakan hasil karya pembuat film asal Belanda namun merupakan rilisan komersial pertama yang melibatkan artis Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, sebuah film karya Umar Ismail berjudul "Darah dan Doa" pada tahun 1950 menjadi film pertama yang secara resmi diproduksi oleh Perusahaan Film Nasional Indonesia atau Perfini, yang lantas tanggal pertama kali syuting film ini yakni pada 30 Maret 1950 didaulat sebagai Hari Film Nasional.

Di era 70-an perfilman Indonesia diramaikan oleh genre komedi yang kala itu dibintangi oleh Benyamin Sueb dan kawan-kawan yang bersaing ketat dengan film-film drama percintaan yang dirajai oleh Rhoma Irama. Lalu pada era 80-an genre komedi kedatangan pendatang baru yakni Warkop DKI, yang di akhir eranya mesti bersaing dengan film-film laga yang diangkat dari sandiwara radio. Kelatahan para produsen film di Indonesia terhadap selera pasar bisa dilacak dari tren yang mulai terjadi pasca era ini. Sebut saja di pertengahan 90-an mewabah film-film laga dan horor berbalut erotis yang dibintangi artis-artis yang sama di tiap film yang beredar di saat yang nyaris sama pula. Kelatahan paling parah terjadi satu dekade setelahnya, yakni ketika hantu-hantu bergentayangan di layar bioskop dan televisi.

Layaknya siklus kompetisi, produsen dalam industri perfilman di Indonesia berlahiran dan banyak diantaranya yang mati dilahap persaingan. Satu-satunya cara untuk bertahan di masa kritis ini adalah dengan mengambil resiko mengikuti selera pasar yang membosankan. Jalan keluar ini yang lama-kelamaan membawa industri perfilman di Indonesia berputar-putar di ranah cerita yang itu-itu saja, tanpa sadar bahwa bangku terakhir yang tersisa telah ditinggalkan oleh penonton yang memasuki barisan menuju tayangan film-film mancanegara. Lalu lagi-lagi para pembajak film dipersalahkan atas krisis ini. Meski pemberantasan yang dilakukan oleh otoritas terkait tidak lantas mendongkrak penjualan tiket bioskop dan pembelian CD original, karena mutu cerita yang ditawarkan memang begitu menyedihkan.

Film berkembang tidak hanya perpaduan antara seni dan teknologi semata, Ia juga menjadi perpaduan antara ekonomi dan politik normatif. Lalu posisi para seniman pegiat film untuk menghibur para penonton diisi oleh para pengejar keuntungan belaka, yang ternyata justru menghilangkan rempah-rempah penyedap film itu sendiri. Tidak hanya disitu, film-film yang dianggap mengganggu stabilitas negeri pun dilarang beredar meski diramu oleh koki-koki handal, sebagai contoh adalah film-film garapan Garin Nugroho seperti "Daun di atas Bantal" dan "Pasir Berbisik" yang tidak diperbolehkan beredar di masa Orde Baru karena dinilai bertutur terlalu jujur tentang kondisi sosial yang terjadi di Indonesia, atau pelarangan film karya Slamet Raharjo pada tahun 2001 berjudul "Marsinah", karena dianggap menggelitik naluri kritis masyarakat dan mengusik kewibawaan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Dan, bagaimana ketika para penonton mulai mengambil peran untuk berada di balik layar? Keresahan para penggemar film di Indonesia terhadap grasak-grusuk film-film yang berteknik tinggi namun berkualitas cerita rendah, melahirkan film-film independen atau indie, baik berdurasi singkat maupun sebaliknya. Ini adalah salah satu metode alternatif yang dikembangkan oleh para penggemar film yang lelah oleh rasa bosan menjadi penonton. Dengan modal semampunya, kemampuan seadanya dan fasilitas sedapatnya, berlahiran karya-karya hebat penuh kejutan yang berupaya keluar dari gagasan-gagasan standar. Disini para penonton dapat berkesperimen dalam mematerialkan keinginan-keinginan mereka dengan konsep kemandirian. Penonton memiliki kebebasan untuk menafsirkan sepuasnya, mempunyai kebebasan untuk mempertanyakan tanpa perlu orang lain mejawabnya. Keberagaman lahir dari sini. Dengan begitu, wacana kekhasan para sineas indie sulit untuk dilacak dan dipetakan. Semoga saya tidak keliru.



Penulis adalah aktivis media alternatif gratis di skena hardcore punk Kota Palembang, yang tertarik pada dadaisme, seni kolase, bir dan radiohead. Saat ini menjadi pewarta ekonomi bagi Majalah Kinerja Bank di Palembang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar