Indar Ismail
Banua Oge atau Banua Mbaso atau Sou Raja alias rumah raja yang berada di
Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, masih dapat dikunjungi hingga kiini.
Rumah dengan 28 tiang berkayu ulin—kayu anti air dan rayap mahal khas
Kalimantan—ini menjadi saksi sejarah raja-raja Palu dan peninggalannya.
Ada Kursi Raja, Mesin Jahit yang Gagal
Dirampas Jepang
Dengan ditemani Medi (23), generasi
kelima dari Yojokodi, raja ketujuh dari raja pertama Palu, Puenggari, wartawan Mercusuar berkesempatan mengunjungi bagian-bagian rumah
pada Selasa siang (2/5/2103).
Ketika berdiri di gandaria (teras) dan
akan memasuki rumah, terdapat tiga pintu
yang menghadap tamu. Yakni pintu tengah, pintu samping yang terletak di sisi
kiri dan pintu magau atau pintu
langsung ke kamar raja. Menurut Medi, kamar magau
sengaja dibuatkan pintu agar raja bisa langsung masuk ke kamarnya.
Belum berhenti di situ, di atas setiap
pintu ada ukiran kaligrafi dengan huruf Arab bertuliskan Allah dan Muhammad.
Ini menandakan jika pada masa rumah tersebut dibangun oleh Yojokodi pada tahun
1892, Islam telah menjadi agama resmi di Kerajaan Siranindi, salah satu dari
patanggota atau wilayah yang empat dari Kerajaan Palu. Kemudian berderet enam
foto. Salah satu yang menyita perhatian adalah foto raja Djanggola, kakek
Gubernur Sulteng, Longki Djanggola dengan sejumlah pembesar kerajaan dan tokoh
Belanda yang dipajang persis di samping pintu tengah.
GAMBAR raja dan keluarganya terpampang di dinding pintu tengah sebelum masuk Sou Raja. FOTO: INDAR/MS |
Di ruang tengah atau tatanga ada sejumlah kursi tempat raja
menerima tamu. Empat kursi kayu berukir, dua kursi kayu berbentuk bulat dan sebuah
kursi goyang, menghiasi tatanga.
Dinding-dinding rumah juga seolah bercerita tentang masa kejayaan dahulu saat Mercusuar bisa menyaksikan sejumlah
gambar dari dekat. Menurut Medi,
foto-foto hitam putih berukuran minimal 10 R itu merupakan potret dari turunan
Raja Yojokodi seperti Parampasi, Paliusi, Djanggola dan Tjatjo Ijasah beserta
keluarganya.
Sebuah foto berlatar Sou Raja dengan
puluhan ibu dan anak-anaknya juga menghiasi salah satu dinding ruangan.
Istimewanya, gambar itu memuat Parengkuan, Menteri Kesehatan Republik Indonesia
pertama yang sempat berkunjung ke Banua Oge pada 1950. Raja-raja dan
keturunannya juga terpampang dalam Bahasa Belanda. Sayang dua kertas sisilah
itu tak terlihat jelas lagi bacaannya.
Beberapa peninggalan lain seperti cangkir
dan gelas raja turut tersimpan dalam sebuah lemari. Juga beberapa potong
pakaian yang terlipat rapi meskipun lusuh dimakan zaman. Namun, untuk
menunjukkan jenis baju raja-raja dahulu, pemerintah memajang duplikasi baju magau
dan keluarga magau beserta senjata tradisionalnya dalam lemari kaca.
Bisa dipastikan bahwa busana raja dan
keluarganya di akhir tahun 1900-sampai zaman penjajahan telah modis pada
masanya. Selain daripada duplikasi busana, itu juga antara lain terlihat dari
gambar yang terekam, dimana raja dan para pembesarnya telah menggunakan stelan
jas. Sedangkan anak gadis dan istri raja telah mengenakan kain kebaya tanpa
kerudung. Apalagi sebuah mesin jahit tua
masih tersimpan di depan kamar raja. Ringkasnya, baju raja kala itu sudah dijahit
mesin, bukan oleh jahit tangan. Menurut Medi, mesin jahit itu tinggal
satu-satunya tersisa, dari beberapa unit yang pernah ada. “Mesin jahit ini
pernah ingin diambil Jepang tapi tidak berhasil,” tukas mahasiswa Fakultas
Hukum pada Universitas Tadulako ini.
Menengok sedikit ke kamar raja. Dua
pasang jendela besar layaknya ukuran pintu terlihat terbuka. Ada lemari kayu
serta sebuah tempat tidur kelambu dengan sepasang bantal dan guling. Sekeliling
kamar dihiasi kain bercorak khas Kaili, kuning, merah, biru dengan corak bunga.
Kamar raja berukuran 2x4 meter. Untuk
kamar keluarga raja, selain terdapat beberapa foto, juga ada beberapa
kursi.
Meskipun diizinkan bebas merekam
sejumlah sudut rumah, namun ada satu sisi rumah yang tidak bisa difoto. Medi
mengaku tempat yang berada di belakang ruang tengah itu adalah tempat
pelaksanaan adat. Kain terbentang berwarna kuning dibuat mengitari di samping
tangga menuju loteng. “Di loteng ini dahulu jadi tempat menenun dan anak gadis
ketika ada tamu raja,” tambah Medi. Dari
kejauhan ada lubang selebar bola kasti di lantai panggung tempat adat. Menurut
Medi, lubang itu adalah tempat membuang debu dan sampah ketika penghuni rumah
menyapu.
Untuk menuju avu atau dapur, ada lantai sepanjang tiga meter dari bangunan
utama. Lantai kayu tersebut tidak beratap. Semacam ruang rehat atau untuk
menikmati angin bagi keluarga. Pada sisi
kanan ruang ini ada jamban, tempat mandi dan gudang. Sedangkan sisi kiri ada
pintu lalu tangga untuk naik turun keperluan dapur atau urusan jamban.
Peninggalan menarik juga bisa
disaksikan di dapur. Misalnya ada kuratana,
yakni alat memasak dari tanah liat yang dibuat di Kelurahan Duyu (kini masuk
Kecamatan Ulujadi) sekitar tahun 1935. Juga ada kurabolo, alat kukusan yang juga dibuat pada tahun yang sama di
Duyu. Jika kuratana tak berlubang, pada kurabolo
justru ada lubang Kukusan, antara tujuh sampai sembilan lubang berukuran
kelereng. Juga ada dua panci dari besi dan tungku dari batu. Penataan
diupayakan menggambarkan kondisi dapur keluarga raja.
Bukan hanya tamu dan rombongan pejabat
dari luar Palu, Sou Raja ini juga pernah dikunjungi sejumlah peneliti atau
arkeolog dan antropolog asing, seperti asal Australia dan Austria pada tahun
lalu. “Juga pernah ada orang Belanda yang datang ke sini,” lanjut Medi. Sedangkan pengunjung domestik atau yang ada di
Palu, dalam sebulan bisa mencapai empat atau lima kali kunjungan. Kebanyakan
adalah rombongan siswa dan mahasiswa. Meskipun ia dan kawan-kawan berupaya
merawat dan mempromosikan bangunan Sou Raja ini melalui Sangar Seni Sou Raja
sejak tahun 2001, namun masih ada kecemasan dalam diri Medi. Sebab lebih banyak generasi muda yang
sekadarnya melihat, sedikit sekali yang serius untuk --katakanlah-- mencatat atau
merekam bagian-bagian yang dijelaskan. Artinya, bangunan bernilai sejarah itu
belum dimaknai sebagai ilmu pengetahuan.
Karenanya, ia berharap mereka yang diperkenalkan sejak dini adalah
anak-anak sekolah dasar (SD), sehingga lebih mudah untuk merekam sejarah lokal
yang ada di Sou Raja. “Saya khawatir, banyak anak muda tidak kenal sejarah
Palu,” tandasnya.
Ketua Dewan Pendidikan Sulteng, Prof
Dr Juraid menyarankan orang tua memanfaatkan masa liburan sekolah untuk
mengajak anggota keluarganya mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Sulteng,
salah satunya Banua Oge atau Sou Raja. “Sangat penting dan merupakan momen
untuk meningkatkan inspirasi, edukasi, kreasi dan rekreasi anak di masa libur
ini,” tukasnya, Rabu (3/7/2013). ***
Sulawesi Tengah
Alhamdulillah sudah pernah kesana ... HEeeheh
BalasHapus