Senin, 29 Juli 2013

Ke Banua Oge, Rumah Raja Palu (bag.2)

Indar Ismail

Banua Oge atau Banua Mbaso atau Sou Raja alias rumah raja yang berada di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, masih dapat dikunjungi hingga kiini. Rumah dengan 28 tiang berkayu ulin—kayu anti air dan rayap mahal khas Kalimantan—ini menjadi saksi sejarah raja-raja Palu dan peninggalannya.


Ada Kursi Raja, Mesin Jahit yang Gagal Dirampas Jepang

Dengan ditemani Medi (23), generasi kelima dari Yojokodi, raja ketujuh dari raja pertama Palu, Puenggari, wartawan Mercusuar  berkesempatan mengunjungi bagian-bagian rumah pada Selasa siang (2/5/2103).   


Ketika berdiri di gandaria (teras) dan akan memasuki  rumah, terdapat tiga pintu yang menghadap tamu. Yakni pintu tengah, pintu samping yang terletak di sisi kiri dan pintu magau atau pintu langsung ke kamar raja. Menurut Medi, kamar magau sengaja dibuatkan pintu agar raja bisa langsung masuk ke kamarnya. 

Belum berhenti di situ, di atas setiap pintu ada ukiran kaligrafi dengan huruf Arab bertuliskan Allah dan Muhammad. Ini menandakan jika pada masa rumah tersebut dibangun oleh Yojokodi pada tahun 1892, Islam telah menjadi agama resmi di Kerajaan Siranindi, salah satu dari patanggota atau wilayah yang empat dari Kerajaan Palu. Kemudian berderet enam foto. Salah satu yang menyita perhatian adalah foto raja Djanggola, kakek Gubernur Sulteng, Longki Djanggola dengan sejumlah pembesar kerajaan dan tokoh Belanda yang dipajang persis di samping pintu tengah.


GAMBAR raja dan keluarganya terpampang di dinding pintu tengah sebelum masuk Sou Raja. FOTO: INDAR/MS


Di ruang tengah atau tatanga ada sejumlah kursi tempat raja menerima tamu. Empat kursi kayu berukir, dua kursi kayu berbentuk bulat dan sebuah kursi goyang, menghiasi tatanga. Dinding-dinding rumah juga seolah bercerita tentang masa kejayaan dahulu saat Mercusuar bisa menyaksikan sejumlah gambar dari dekat.  Menurut Medi, foto-foto hitam putih berukuran minimal 10 R itu merupakan potret dari turunan Raja Yojokodi seperti Parampasi, Paliusi, Djanggola dan Tjatjo Ijasah beserta keluarganya. 

Sebuah foto berlatar Sou Raja dengan puluhan ibu dan anak-anaknya juga menghiasi salah satu dinding ruangan. Istimewanya, gambar itu memuat Parengkuan, Menteri Kesehatan Republik Indonesia pertama yang sempat berkunjung ke Banua Oge pada 1950. Raja-raja dan keturunannya juga terpampang dalam Bahasa Belanda. Sayang dua kertas sisilah itu tak terlihat jelas lagi bacaannya. 

Beberapa peninggalan lain seperti cangkir dan gelas raja turut tersimpan dalam sebuah lemari. Juga beberapa potong pakaian yang terlipat rapi meskipun lusuh dimakan zaman. Namun, untuk menunjukkan jenis baju raja-raja dahulu, pemerintah memajang duplikasi baju magau dan keluarga magau beserta senjata tradisionalnya dalam lemari kaca. 

Bisa dipastikan bahwa busana raja dan keluarganya di akhir tahun 1900-sampai zaman penjajahan telah modis pada masanya. Selain daripada duplikasi busana, itu juga antara lain terlihat dari gambar yang terekam, dimana raja dan para pembesarnya telah menggunakan stelan jas. Sedangkan anak gadis dan istri raja telah mengenakan kain kebaya tanpa kerudung.  Apalagi sebuah mesin jahit tua masih tersimpan di depan kamar raja. Ringkasnya, baju raja kala itu sudah dijahit mesin, bukan oleh jahit tangan. Menurut Medi, mesin jahit itu tinggal satu-satunya tersisa, dari beberapa unit yang pernah ada. “Mesin jahit ini pernah ingin diambil Jepang tapi tidak berhasil,” tukas mahasiswa Fakultas Hukum pada Universitas Tadulako ini. 

Menengok sedikit ke kamar raja. Dua pasang jendela besar layaknya ukuran pintu terlihat terbuka. Ada lemari kayu serta sebuah tempat tidur kelambu dengan sepasang bantal dan guling. Sekeliling kamar dihiasi kain bercorak khas Kaili, kuning, merah, biru dengan corak bunga. Kamar raja berukuran 2x4 meter.  Untuk kamar keluarga raja, selain terdapat beberapa foto, juga ada beberapa kursi.  

Meskipun diizinkan bebas merekam sejumlah sudut rumah, namun ada satu sisi rumah yang tidak bisa difoto. Medi mengaku tempat yang berada di belakang ruang tengah itu adalah tempat pelaksanaan adat. Kain terbentang berwarna kuning dibuat mengitari di samping tangga menuju loteng. “Di loteng ini dahulu jadi tempat menenun dan anak gadis ketika ada tamu raja,” tambah Medi.  Dari kejauhan ada lubang selebar bola kasti di lantai panggung tempat adat. Menurut Medi, lubang itu adalah tempat membuang debu dan sampah ketika penghuni rumah menyapu.

Untuk menuju avu atau dapur, ada lantai sepanjang tiga meter dari bangunan utama. Lantai kayu tersebut tidak beratap. Semacam ruang rehat atau untuk menikmati angin bagi keluarga.  Pada sisi kanan ruang ini ada jamban, tempat mandi dan gudang. Sedangkan sisi kiri ada pintu lalu tangga untuk naik turun keperluan dapur atau urusan jamban. 

Peninggalan menarik juga bisa disaksikan di dapur. Misalnya ada kuratana, yakni alat memasak dari tanah liat yang dibuat di Kelurahan Duyu (kini masuk Kecamatan Ulujadi) sekitar tahun 1935. Juga ada kurabolo, alat kukusan yang juga dibuat pada tahun yang sama di Duyu.  Jika kuratana tak berlubang, pada kurabolo justru ada lubang Kukusan, antara tujuh sampai sembilan lubang berukuran kelereng. Juga ada dua panci dari besi dan tungku dari batu. Penataan diupayakan menggambarkan kondisi dapur keluarga raja. 

Bukan hanya tamu dan rombongan pejabat dari luar Palu, Sou Raja ini juga pernah dikunjungi sejumlah peneliti atau arkeolog dan antropolog asing, seperti asal Australia dan Austria pada tahun lalu. “Juga pernah ada orang Belanda yang datang ke sini,” lanjut Medi.  Sedangkan pengunjung domestik atau yang ada di Palu, dalam sebulan bisa mencapai empat atau lima kali kunjungan. Kebanyakan adalah rombongan siswa dan mahasiswa. Meskipun ia dan kawan-kawan berupaya merawat dan mempromosikan bangunan Sou Raja ini melalui Sangar Seni Sou Raja sejak tahun 2001, namun masih ada kecemasan dalam diri Medi.  Sebab lebih banyak generasi muda yang sekadarnya melihat, sedikit sekali yang serius untuk --katakanlah-- mencatat atau merekam bagian-bagian yang dijelaskan. Artinya, bangunan bernilai sejarah itu belum dimaknai sebagai ilmu pengetahuan.  Karenanya, ia berharap mereka yang diperkenalkan sejak dini adalah anak-anak sekolah dasar (SD), sehingga lebih mudah untuk merekam sejarah lokal yang ada di Sou Raja. “Saya khawatir, banyak anak muda tidak kenal sejarah Palu,” tandasnya. 

Ketua Dewan Pendidikan Sulteng, Prof Dr Juraid menyarankan orang tua memanfaatkan masa liburan sekolah untuk mengajak anggota keluarganya mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Sulteng, salah satunya Banua Oge atau Sou Raja. “Sangat penting dan merupakan momen untuk meningkatkan inspirasi, edukasi, kreasi dan rekreasi anak di masa libur ini,” tukasnya, Rabu (3/7/2013). ***


Penulis merupakan pewarta yang berdomisili di Kota Palu, 

Sulawesi Tengah

1 komentar: