Kamis, 26 September 2013

Rindu

foto: devianart.com



Bagaimana bisa kuutarkan rasa di hati sementara aku tak bisa merangkai kata. Bagaimana bisa kujelaskan kecamuk di hati sementara kosakataku tak banyak. Apa harus kuulang kata yang sama, penguasa hatiku. Ah, itu sungguh hanya akan memperlihatkan bahwa aku benar-benar miskin kata.

Seperti yang sering kulakukan, memotong-motong dialog, mencuri beberapa bait puisi, mengambil penggalan-penggalan cerita, dan mengutip kata-kata bijak, serta mendengarkan lagu-lagu pengantar tidur. Itu saja yang kubisa. Meminjam karya-karya besar para sastrawan itu, berharap rasaku terwakili. Namun, hingga kini, tak satu pun mampu mewakili perasaanku seutuhnya. Ada yang kurang, ada yang tertinggal, bahkan ada yang salah.

Kupikir aku ingin bercerita. Setiap malam hendak tidur, aku ingin seseorang mendengarkanku. Entah tentang apa saja. Akan kumulai dengan menggenggam tangannya, mengapit jemarinya dengan jari-jariku, kemudian membiarkan hangat telapak tangannya mengalir ke seluruh tubuhku. Hingga dia membiarkanku bercerita dalam peluknya.

Beberapa saat, kutak tahu apa yang ingin kuceritakan. Ah, apa yang mau kukatakan? Perasaan seperti apa? Dongeng apa yang bisa mengantarnya tidur? Harus mulai cerita dari mana?

Hati dan pikiranku dipenuhi banyak hal. Bagaikan sebatang pohon yang tinggi dan rindang. Akarnya sungguh kuat menopang tegak batang yang besar dan kokoh. Daun-daun yang hijau, rindang sekali. Harus  kumulai dari akar, batang, daun, atau ranting-rantingnya? Atau asal muasal pohon itu tumbuh di padang rumput yang ilalangnya setinggi pria dewasa?

Ini sungguh membingungkan. Memori yang mana yang akan kukeluarkan. Sementara dia sudah menungguku bersuara.  Dengarlah detak jantungnya mulai cepat, rasakanlah beberapa kali tubuhnya bergerak mempererat peluk, hembusan nafasnya seperti orang lelah menunggu.

Baiklah, baiklah, sebentar lagi dia bisa tenang, lalu tertidur nyenyak usai aku bercerita.
“Malam adalah teman yang sangat pengertian. Semua penat di keseharian bisa dilepaskan pada malam. Mimpi-mimpi indah dimulai saat ini. keakraban yang selalu ditunggu dapat dijalin saat ini. seperti yang tengah dan akan kita lakukan. Meski sangat jarang kunikmati malam dengan melihat langsung hiasannya yang menggantung tinggi di langit, namun kutahu malam-malam adalah keindahan yang tak mampu kugambarkan, sekalipun tanpa hiasannya itu.”

Peluknya terasa lebih hangat, sepertinya ia mulai memahamiku. Kulanjutkan lagi. “Kau tahu, kumerindukan saat-saat seperti ini setiap matahari menghilang”.

Dia memelukku lebih nyaman. Dan kulanjutkan cerita tentang mimpi-mimpiku. Hingga seseorang membuka pintu kamar dan memencet tombol lampu. Ibuku, selalu mengambil guling yang jatuh di lantai dan menaruhnya di atas badanku. Kudekap mesra guling kesayangan seperti semalam. Mencoba mengingat bunga tidurku yang baru saja berlalu. Lagi-lagi di subuh ini, aku tak ingat lagi.





Restiana Nurman 
mahasiswi Universitas Negeri Padang yang giat menulis cerpen, dan kini menjadi reporter inioke.com

















Mozaik Iwan Kurniawan Lewat ‘Rontaan Masehi’



PERSOALAN sosial dan kondisi bangsa tak lepas dari pengamatan penyair Iwan Kurniawan. Ia mampu menuangkan imajinasinya untuk diabadikan menjadi karya-karya bermakna yang mampu merasuki jiwa pembaca.

Lelaki kelahiran Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, itu baru saja mengeluarkan buku kumpulan puisi keduanya "Rontaan Masehi". Puisi-puisinya banyak bercerita tentang kerinduan pada ‘Ibu’, pemberontakan atas kehidupan yang tak hidup, dan kecemasan tentang kondisi sosial di negeri ini.

Tanah rantau yang menawarkan aneka warna dan keglamoran pun tak lantas membuat dia lupa kampung halaman. Terutama, pada tanah leluhur yang penuh dengan harum cendana, cengkeh, hingga bau bebatuan. Kondisi ini justru semakin mematangkannya dalam menerjemahkan kata kebangsaan dalam bait-bait sajaknya.

Dengan kata lain, sajak-sajak Iwan adalah kata religiusitas, kata kerinduan, kata perjalanan, dan kata kecemasan akan kebangsaan yang masih belum sejalan dengan harapan. Penyair yang dulu pernah berambut gondrong ini juga tak jarang bersitegang dengan keadaan. Dia mampu untuk berkompromi dengan batin, meski gelisah tak kunjung sudah.


Iwan yang juga bekerja sebagai jurnalis seni budaya Harian Umum Media Indonesia pun menebus segala ide dan tafsir misteri. Ia menuliskan segala sesuatunya dalam bebait kata yang disebut puisi.

Penyair ini menamatkan pendidikan sarjananya di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Jawa Barat. Buku kumpulan puisi perdananya diterbitkan semasa kuliah, yaitu “Tapisan Jemari” (2005).

Kini, untuk menjaga daya literer dan kepekaan batinnya, dia tetap berkarya. Bisa jadi, dengan bersajak segala rasa kerinduan hingga kecemasan terhadap kondisi sosial bisa sedikit terlunaskan lewat puisi.

Sastrawan kawakan Gerson Poyk menilai puisi-puisi Iwan adalah tentang berbagai hal dalam mozaik kehidupan. Ada absurditas, ada kritik sosial, ada kerinduan. Semuanya diramu dengan pergolakan dan pergulatan batin yang tak kenal kata akhir. 
“Absurditas kehidupan menjadi cermin betapa kehampaan dan kefanaan selalu menyertai di mana pun kita berada,” ujar peraih hadiah sastra ASEAN, Sea Write Award (1989), itu. 

Gerson juga menyoroti beberapa sajak dalam buku kumpulan puisi “Rontaan Masehi”. Semisal sajak berjudul ‘Hampir Maut’: kau menatap jauh//suara gitar menembus balik beranda//sahabat dan perjuangan menghilang selepas kereta kencana//pertemuan lautan embun dan suara semampai dedaunan//kau menatap jauh//menanti seorang lahir baru di kening mazmur//.

“Diksi yang Iwan hadirkan sangat bagus. Ia mampu menghadirkan pemikiran yang orisinalitas dan autentik. Ini yang jarang dimiliki penyair muda sekarang ini,” ujar Gerson yang juga memberikan testimoni dalam buku setebal 98 itu. 

Tak hanya itu, ada pula sajak berjudul ‘Pulang’: aku pulang, Ibu//deru kota berputar dengan taring-taring tinggi//ada tongkat menikam dalam tanah//memandang angkuh pada langit//aku pulang, Ibu//seonggok perasaan begitu lelah//bendera-bendera kusam//terseret angin jahat//aku pulang, Ibu//ingin kucium aroma cendana di lehermu//.  

“Dengan segala upaya dalam proses kreatifnya, di antara dua dunia yang digelutinya yaitu jurnalistik dan sastra, Iwan mampu menghadirkan oase, Buku kumpulan ini memang laik dibaca,” jelas Kepala Pelaksana Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin Ariany Isnamurti.

Buku kumpulan puisi “Rontaan Masehi” telah dihelat pada, Jumat 20 September 2013 lalu di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS), H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.
Buku itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi 29 judul puisi. Sedangkan pada bagian kedua terhimpun 34 judul puisi. 



Iwan Kurniawan
Jurnalis seni budaya Media Indonesia










Senin, 16 September 2013

Sajak Penyejuk Rindu




Malam mulai larut. Sisa-sisa hujan menambah dingin udara hingga menusuk tulang. Malam ini sungguh gelap. Lampu jalan tidak dinyalakan orang, kendaraan tidak ada yang lewat. Satu persatu rumah penduduk ikut gelap. Hanya ada satu lampu redup yang tersisa di teras rumah penduduk. Itu pun hanya tiga atau empat rumah yang memiliki teras. Selebihnya ikut kelam ditelan malam. Para penghuninya kembali ke peraduan masing-masing.      

Di satu rumah, terlihat seorang gadis masih sibuk dengan gadget yang dimilikinya. Duduk di teras yang sengaja dimatikan lampunya supaya tidak ada yang melihatnya. Takut-takut nanti dikira orang dia adalah hantu perempuan penghuni teras. Lagian, selarut ini, ngapain juga anak gadis duduk sendiri di depan rumah.
Di zaman yang serba canggih ini, dia hanya memiliki satu buah hand phone yang dibeli dengan uang tabungan sendiridan satu laptop hadiah dari ibunya setelah mendapat dana perbaikan rumah pascagempa. Dia tengah membaca dan menunggu kiriman puisi masuk ke inbox-nya.

Mengenakan jaket tebal besar milik ibunya, dia senyum-senyum sendiri dan sesekali tak bisa menahan tawa menatap layar HP. Dia membaca puisi dari penyair-penyair yang setia menghadiahinya sajak-sajak penghanyut. Penyair-penyair itu adalah orang-orang yang bisa membuatnya lupa dengan permasalahan hidup. Mereka adalah penyair yang bakal dikenal oleh orang banyak, yang puisinya dimuat diberbagai media atau tersusun rapi dalam buku kumpulan puisi. Khusus baginya, mereka adalah yang terhebat dan termahsyur.

Sebulan ini dia giat belajar membaca dan menulis. Belajar menyelami setiap kata yang terangkai dalam frasa, kalusa, dan kalimat, hingga paragraf sampai wacana. Membuatnya berpikir ribuan kali, takut salah tafsir. Ya, kata-kata pada karya indah sang sastrawan, yang baru tersohor namanya, di benak gadis itu saja.

Setiap hari ada beberapa puisi yang dia terima, sebagai hadiah khusus untuknya. Setiap minggu paling sedikit ada tiga cerpen yang harus dibaca, sebagai hadiah dari cerpenis terkemuka, baginya.

Berawal dari cerpen yang dikirim oleh seseorang yang dijumpainya ketika mengikuti pelatihan menulis pertengahan bulan lalu. Dia tercengang membaca cerpen itu. Sosok gadis minang yang diceritakan di dalam cerpen itu sangat dia kenal. Ya, tokoh dalam cerpen itu adalah dirinya sendiri, yang dikisahkan memakai nama lain. Tak puas sekali baca, dia baca lagi, dan dia tertawa. Tidak tahan membaca deskripsi tubuh dan tingkah dirinya sendiri yang diuraikan dalam cerpen itu. Bak membaca diri sendiri, sungguh malu rasanya. Dia baca sekali lagi, lepas, dia tertawa lagi. Sekarang dia menertawai dirinya sendiri yang sudah tertipu. Ternyata penulis cerpen yang memosisikan diri sebagai tokoh utama di dalam cerita itu telah membohonginya. Junaedi (nama penulis dalam cerita sebagi tokoh utama) berpura-pura tidak tahu cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,yang tengah digarap untuk difilmkan. Junaedi menanyakan cerita  karya Buya Hamka itu dan tentang adat istiadat Minang, pokoknya semua tentang kampung halamannya, ternyata hanya modus agar bisa ngobrol lebih lama. Kebohongan yang sangat dia hargai.

Cerpen itulah yangmengugahnya untuk menulis juga. Setelah membaca cerpen itu, dia terus berlatih merangkai kata penampung rasa dan hayal milikinya. Beberapa kali larik yang tercipta tak berhasil menjadi sebuah puisi. Beberapa paragraf yang telah disusun tak sampai menjadi sebuah wacana prosa, cerpen. Ah, benar-benar malam-malam itu membuatnya makin tak sabar mencurahkan gejolak hati dalam untaian kata.

Berbagai kendala dalam menulis dihadapinya. Kebingungan ketika akan menulis, kesulitan mengembangkan karangan, kehabisan kata, dan lainnya yang pernah dialami penulis pemula pada umumnya, pernah dia rasakan. Sering dia menyendiri mencari inspirasi. Bertingkah aneh agar sesuatu yang diharapkannya datang. Terkadang, dia sengaja membuat ibunya menegur, memberi nasehat, bahkan sengaja memancing marah ibunya. Lebih heran, dia sengaja menuduh pacarnya selingkuh sehingga terjadi perdebatan sengit di antara dia dan lelaki yang sedang berada di rantau orang itu. Dia mengeluarkan jurus jitu ala kaum hawa  yang membuatlelaki itu tak tega mendengar isaknya, dan menempatkan dirinya sebagai perempuan tak berdosa.Hanya supaya ada perasaan lain mengisi hatinya.Ya, sesuatu yang memaksa jari-jari menekan keyboard, mengisi layar putih microsoft word.

Seperti malam ini, dia duduk sendiri di teras rumahnya. Tak takut dengan gelap yang mengukung, bunyi gerimis dan jengkrik membuat lain suasana, dan angin yang menghembus  pundaknya, serta suara gonggongan anjing menambah aneh suasana. Malam sudah larut, dia tidak peduli.

Ditengah kecamuk hati yang diurung rasa sepi setelah sekian lama ditinggal oleh orang-orang terdekatnya, ayah pergi untuk selamanya, pacar pergi untuk beberapa bulan mendatang, sahabat-sahabat merantau untuk menimba ilmu di negeri orang, kakak yang jarang pulang karena kegiatan kantor yang padat, dan adik yang jarang pulang semenjak masuk kuliah. Meski ada ibu di rumah yang bisa diajaknya bicara, namun waktu luang yang tersisa hanyalah malam, waktu untuk ibu menumpahkan lelah di tempat tidur, yang sangat sayang jika diganggu. Sepi selalu menyergapnya di rumah sederhana yang cukup bersar ditempati oleh dua orang itu. Dia hanya bisa menikmati keadaan itu.

Sebulan terakhir, sepi itu mulai bisa ditepis. Karya sastra yang diterima sebagai hadiah itu mampu menemaninya di malam-malam sunyi. Setiap kumpulan kata itu dia anggap sebagai sesuatu yang indah.Bahkan, do’a yang dikirim seseorang yang diharapkannya selalu memberi nasehat dan bimbingan layaknya seorang ayah, dianggapnya pula sebagai puisi. Dia baca berulang kali. Tersenyum, tertawa, mengusap air mata, termenung. Membuat hati penuh warna.

Dia terdiam memikirkan kenapa begitu sulit baginya menuliskan apa yang sudah ada dibenaknya. Ada sesuatu yang dirasa belum ada.

“Ana, kamu masih di luar?” suara ibunya menyentakkan lamunannya.
“Iya, sebentar lagi masuk, Bu,” jawab seadanya sambil mengantongi telepon genggamnya, melanjutkan menungnya.
“Ngapain kamu masih di situ? Apa tidak takut dihampiri hantu? Coba dengar, anjing meraung tak henti, itu pertanda ada hantu yang dilihatnya.”

Mendengar itu dia langsung memeluk laptop, masuk, dan mengunci pintu. Berlari ke dalam rumah yang sudah gelap menuju kamar tidur.

“Ih, takut. Ada hantu. Eh suara hantu. Iiii sereem,” kelabakan, dia bicara sendiri sambil mengusap-usap kuduknya, terasa bulu romanya berdiri. 
Menarik selimut dan memeluk gulingnya erat-erat. Beberapa saat berkulumun di dalam selimut, terpikir olehnya apa yang dikatakan ibunya tadi. Anjing menggonggong tak henti pertanda si anjing melihat hantu.
Keluar dari selimut, dia mengucek-ngucek mata dan mengusap muka. Dihidupkan lagi laptop. Terdengar suara hujan menderas dan gemuruh bersahutan. ‘Sesuatu’ itu telah dia dapatkan. Dan mulai menulis,
Malam, Gelap, Hujan, Dingin, Sendiri, Sedih, Lelah, Takut, Ngeri, Senyap, .....Mimpi....
Ketikannya terhenti, terkejut oleh getaran HP. Ada sms masuk.

Ya Allah,
di larut malam ini aku mohon ampuni dosa-dosaku
tunjuki aku jalanMu yang benar.                       
Bimbinglah gerak hati dan langkahku.
Berikan aku kemampuan membimbing gadis yang sedang berselimut ini,
Agar kelak pandai membaca realita kehidupan dengan bijak. Amiin.

“Hah? Gadis yang sedang berselimut?”
Khawatir do’a itu salah sasaran, dia bergegas menyingkirkan laptop dan menyambar selimut. Kini, dia berbaring dalam selimutnya.
Amiin... dia membatin dengan sungguh. Senyum mekar di bibirnya sambil memejamkan mata.


27 Agustus 2013

Restiana Nurman, mahasiswi Universitas Negeri Padang yang giat menulis cerpen, dan kini menjadi reporter Inioke.com

Frans Ekodhanto dalam Kelana Anak Rantau




 Sebagai penyair muda, Frans Ekodhanto Purba semakin menunjukan eksistensinya dalam dunia kepenyairan di Indonesia. Ia berhasil merampungkan kumpulan puisi tunggal berjudul “Kelana Anak Rantau”.

Buku yang memuat 62 puisi itu terdiri dua bab. Bab pertama bertajuk Mazmur Perjalanan berisi 32 puisi, dan bab kedua (Hikayat Kehidupan) berisi 30 sajak. Semua sajak dibuat dalam kurun waktu 2010-2013 dan tempat penulisan yang berbeda-beda.

“Kelana Anak Rantau” adalah buku puisi tunggal pertamanya. Frans mencoba untuk tak menyebutkan tempat pembuatan puisi. Pasalnya, ia tak mau mengikuti kebanyakan penyair yang selalu menonjolkan lokasi penulisan sebagai sebuah ‘kesombongan’ atau ‘keakuan’ penyair. Ia mengubah semua tempat dengan sebuatan ‘Kereta subuh’.

“Saya membebaskan kepada setiap orang untuk menapsir karya saya secara bebas. Dalam puisi-puisi, saya banyak berbicara tentang perjalanan hidup. Sebuah kelana akan menjadi sebuah pengembaraan untuk mencapai sebuah tujuan akhir,” ujar Frans dalam sebuah perbincangan bersama beberapa wartawan kebudayaan di Plaza Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (29/8/2013).

Frans lahir di Desa Sei Suka Deras, Sumatra Utara (Sumut), 8 Juli 1986. Berasal dari keluarga sederhana, tumbuh dan besar di Medan, ibu kota Sumut. Menamatkan pendidikan di program S1 jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Jawa Barat (lulus 2010).

Ia mulai mengenal dan menyukai puisi semasa sekolah menengah pertama, kemudian memantapkannya di bangku perkuliahan dan organisasi-organisasi kemahasiswaan. Semasa kuliah, sajak-sajaknya pernah termaktub dalam sejumlah media massa lokal (daerah) dan nasional.

“Semua pengalaman yang saya alami, saya tuangkan dalam puisi-puisi. Ada tentang cinta, kritik sosial, dan kerinduan akan ibu di kampung halaman sana,” jelas lelaki yang bekerja sebagai wartawan seni dan budaya di Koran Jakarta itu.

Bicara sajak

Membicarakan Frans, tak bisa dipisahkan soal proses kreatif dan perjalanan hidupnya yang sedikit banyaknya tercermin pada larik, metafor, dan makna sajaknya. Secara harfiah, kata ‘Kelana’ dapat diartikan sebagai sebuah perjalanan atau pengembaraan seseorang pada tempat-tempat tertentu, seperti ke negeri orang atau ke kampung yang baru. Sedangkan kata ‘Rantau’ dapat diterjemahkan sebagai pencarian. Pencarian atas kehidupan, masa depan, harapan, tempat tinggal, serta pencarian-pencarian lainnya.


Dengan kata lain, sajak-sajak Frans yang terkumpul dalam buku puisi "Kelana Anak Rantau" ini merupakan suatu perjalanan yang terus melakukan pencarian yang tak berkesudahan.

Perjalanan yang tak tahu kapan sampainya. Pencarian yang tau tahu kapan temunya. Namun di dalam melakukan kelana tersebut, Frans kerap menemukan hal-hal yang lumrah atau bahkan baru saja ditemukan. Tak hanya itu, ketika melakukan pengelanaan, Frans tak jarang bertemu dengan simpang-simpang mimpi, harapan, kegelisahan, keresahan/kecemasan bahkan kerinduan yang tak habis-habis tentang segala hal. Tak mengherankan, jika membaca kumpulan buku puisinya, pembaca dipertemukan dengan tema-tema cinta dan kerinduan dalam arti yang luas.

Helatan peluncuran

Buku puisi “Kelana Anak Rantau” ini akan diluncurkan dan dibedah di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, pada Jumat, 30 Agustus 2013, pukul 16.00 WIB sampai selesai.

Rencananya, Bambang Subekti (Pimpinan PKJ TIM) dan Radhar Panca Dahana (budayawan) akan membuka acara tersebut. Lalu, akan dibedah oleh dua pembicara Hanna Fransisca (penyair) dan Damhuri Muhammad (cepenis/esais), serta moderator Renggi Putrima (penari dan penikmat sastra).

Sederet seniman akan turut meramaikan dengan berbagai pementasan. Mereka adalah penampilan musikalisasi puisi oleh Iwan Kurniawan (penyair/wartawan), Vukar Lodak (pemusik dan pengamat seni rupa), dan Teater Ghanta UNAS.

Lalu, pembacaan puisi Asrizal Nur (penyair/pembaca puisi multimedia), Sihar Ramses Simatupang (penyair/wartawan), Jose Rizal Manua (penyair/teaterawan), Nana Riskhi Susanti (penyair/wartawan), Andi Bersama (teaterawan), Fermana Manaloe (teaterawan), Idris Brandy (pelukis), Patrick Wowor (pelukis), Syahnagara Ismail (pelukis), Sri Warso Wahono (pelukis), dan performance sketsa Toto BS, serta penampilan-penampilan memukau lainnya. 


                                   

Pagar Rumah Bapa

westylerillustration.wordpress.com


Aku menyapihmu
Aku menyusuimu
Aku menyuapimu
Aku menyisir rambutmu
Memang bukan tanganKu langsung
Tapi mereka adalah Aku
Aku merawatmu
Aku membesarkanmu
Aku tunjukan mana berkat, mana maksiat
Aku tuntun kamu
Aku buatkan kamu pagar agar tidak sesat jalan
Mari pulang ke rumahKu!
Ya, pagar rumahKu berujung pintu, dua pintu!
Ada pintu surga, ada pintu neraka
Ya..., tentu saja kau boleh masuk pagar dari arah mana saja
Tergantung dari mana hatimu melangkah
Angin saja Aku biarkan datang dari mana saja, apalagi kau!
Kau, manusia kan?
Yaa, betul! Silahkan!
Hei, hei, heiiii.... hei!
Kenapa kau sikut sebelahmu?
Kenapa kau dorong depanmu?
Kenapa pula kau injak belakangmu?
PagarKu begitu lebar
Ada banyak jalan menuju satu pintu
Jadi tak perlu usik yang lain
Belum tentu juga kau yang diijinkan masuk


Depok, malam takbiran 18 agustus 2012




Ina Kaka, mahasiswi Institut Kesenian Jakarta yang menaruh minat 
pada puisi dan seni pertunjukan





Memberi, Tidak Merebut

Puisi Ina Kaka


















Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau
Dari rumput di pekarangan kita

Ah, kau juga pernah dengar peribahasa itu?
Sudah pernah dengar ya sudah!
Tidak perlu terpaku, larut apalagi ikut

Kenapa matahari tetap terbit di timur
Apa dia tidak iri kepada pelangi
Pelangi hanya muncul sesekali langsung dipuji
Sebentar pula, kenapa?

Boleh kubilang itu karena matahari bersyukur
Bersyukur dengan apa yang menjadi tanggung jawabnya
Memberi, tidak merebut

Boleh mulai sekarang kita berucap
Rumput kita selalu tampak lebih hijau
Dari rumput di pekarangan tetangga
Mari.


1/8/13; 02.13 AM
Cimanggis-Depok



Ina Kaka, mahasiswi Institut Kesenian Jakarta yang menaruh minat pada puisi dan seni pertunjukan










Bedog Arts Festival

























Pada Jum’at-Sabtu, 23-24 Agustus 2013 mendatang, akan digelar Bedog Art Festival (BAF) V di Studio Tari Banjarmili milik Miroto di Kradenan Rt 04/17 Banyuraden Gamping, Sleman Yogyakarta.

Rilis dari panitia BAF V, Minggu (18/8) menjelaskan, tema besar BAF V masih sama dengan gelaran BAF sebelum-sebelumnya yaitu lingkungan. Tema BAF V adalah Seni Seabgai Ekspresi dan Pembentukan Karakter Pemuda.

Penggagas BAF, Miroto mengatakan pelaksanaan BAF2013 lebih matang dari pelaksaan BAF tahun-tahun sebelumnya. Sebab perjalanan BAF selama lima tahun telah menemukan format festival ideal dengan tetap mengusungkan konsep harmoni alam.

BAF V akan menyelenggarakan penghijauan pada sepanjang bantaran sungai dengan menanam jenis tanaman Aren. Di pilihnya tanaman Aren berdasarkan pengamatan dan pengalaman penyelenggaraan penghijauan tahun sebelumnya.
“Tanaman Aren memiliki karakter yang sesuai dengan struktur tanah disepanjang sungai,” kata Miroto.

BAF 2013 akan menampilkan pertunjukan seni tari kontemporer juga seni shalawatan, seni silat dan juga wayang kulit purwa. Selain menampilkan seniman Indonesia, BAF 2013 juga menghadirkan seniman Jepang, China, Taiwan, Australia, Irlandia, dan Amerika Serikat.

Dari Jepang akan hadir Katsura Kan. Seniman China akan datang Du Yufang, Shui Hui Huang (Taiwan), Tony Yap (Australia), Brendan O'connor (Irlandia), serta Kun Yang Lin (Amerika Serikat).

Seniman Indonesia yang terlibat dalam BAF V adalah Miroto dan Mila Rosita (Yogyakarta), Ratnawati (Indramayu), Pradapa Loka Bhakti (Pacitan), Vera (Riau), Usman Najrid (Kalimatan), M-I School (Surabaya).

Sedang bentuk kesenian lain yang akan tampil  dalam BAF V adalah Shalawatan Cokrobedog, Silat Krisna Murti, serta wayang kulit purwa yang akan dipentaskan dalang muda Jogja, Catur “Benyek” Kuncoro.

Hari pertama BAF V, Jum’at (23/8) akan menghadirkan pementasan Shalawatan (Cokrobedog), Pradapa Loka Bhakti (Pacitan), Du Fang (China), Vera (Indonesia), Ratnawati (Indonesia), Kun Yang Lin (Amerika Serikat) , Katsura Kan (Jepang) , Shui Hui Huang (Taiwan) dan Miroto (Indonesia).



Minggu, 04 Agustus 2013

Natoni, Bahasa Verbal Sarat Makna

Leksi Salukh 






Jika di Ende, Flores, masyarakat mengenal ada be'a, sapaan adat dalam bahasa Lio, maka di Timor masyarakat adat memiliki sapaan adat tersendiri yang dikenal dengan natoni. Natoni merupakan ungkapan pesan-pesan yang dinyatakan dalam bentuk syair-syair bahasa kiasan adat yang dituturkan secara lisan oleh seorang penutur (atonis) yang dilakukan dengan ditemani oleh sekelompok orang sebagai pendamping yang dinekal dengan sebutan na heâ??en yang ditujukan baik kepada sesama manusia maupun kepada para arwah orang mati atau dewa. Dalam natoni, yang bertindak sebagai pengirim pesan disebut atonis dan na heâ??en. Pesan yang diungkapkan melalui syair-syair natoni yang diucapkan menyerupai pantun. Natoni biasanya disampaikan kepada sesama manusia, juga kepada arwah orang mati atau para dewa yang disembah.

Natoni sebenarnya lebih kepada interaksi satu arah. Hanya natoni perkawinan yang ada nuansa dialognya. Sebaliknya bila natoni ditujukan untuk arwah leluhur maka dilakukan ibarat doa bersama. Natoni merupakan sarana komunikasi tradisional yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan tertentu baik kepada sesama warga maupun kepada para leluhur.

Natoni biasanya dituturkan dalam rangka upacara adat baik adat perkawinan maupun kematian, juga acara-acara seremonial lainnya misalnya saat penyambutan dan pelepasan tamu. Menurut Ayub Salu, salah seorang penutur natoni atau atonis di Kupang kepada VN, natoni merupakan tutur yang disampaikan dengan santun dan bermakna sangat dalam. Kalimat santun yang dirangakai oleh orang yang memiliki kemampuan tutur natoni. Karena itu, kata Ayub, penutur natoni atau natonis tidak semua orang Timor mampu melakukannya. Setiap kalimat natoni harus diramu dan disampaikan sesui dengan tahapan dan runutan secara baik dan benar pada momen yang tepat. Natoni adat biasanya disandingkan bersama oko mama (tempat sirih pinang).

Ketika natoni disampaikan, ada na he'en yang mendampingi sambil memegang oko mama. Biasanya di dalam oko mama selain berisikan siri pinang, juga berisi uang. Nilai nominal berapapun tidak dipersoalkan, karena walaupun nilai nominalnya kecil, namun memiliki makna yang sangat besar. "Angka nominal uang tidak menjadi persoalan melainkan berjalanya prosesi yang lebih diutamakan," kata Salu.

Natoni, lanjutnya, berisikan hal-hal yang berkaitan dengan alam (pah), dan natoni yang berkaitan dengan masalah manusia atau sosial kemasyarakatan (natoni lasi). Natoni yang masih tetap bertahan dalam keasliannya hanya terdapat di masyarakat Boti Dalam yang masih memegang teguh kepercayaan halaika yang dianut nenek moyang mereka. Natoni yang diwariskan para leluhur tetap dipelihara, dan diwariskan secara turun-temurun tanpa merubah bentuk pelaksanaannya.

Saat ini, natoni selain yang dilaksanakan oleh masyarakat Boti Dalam, masyarakat Timor seperti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, dan sebagian wilayah Kabupaten Kupang, masih tetap mempertahankan natoni. Hanya saja, selain untuk acara adat perkawinan, natoni juga biasanya dipakai dalam penyambutan tamu-tamu resmi pada saat masuk dalam tempat acara.

Sementara Gomer Liufeto, juga seorang atonis mengatakan, sering didengar istilah atoin pah meto atau atoin meto, sebenarnya tidak saja memiliki makna sama orang Timor saja tetapi bisa dimaknai atoin pah meto yang bisa diartikan sebagai penutur lahan kering.

Natoni adat memiliki nilai seni yakni bisa mengikatsatukan berbagai pihak dengan olahan tutur. Natoni, kata dia, biasanya juga berisikan sejarah atau kisah-kisah perjalanan nenek moyang leluhur masyarakat Timor di masa lampau, dan mengambarkan apa yang dialami sekarang.







"Afi unun kan muif else la hen natenab hen na ekub kit bi neno i,na ko mais un ini, he nati ta ekum tabua, es le nanet ka laf-lafu fat hit taekum tabua, es onanet Ekus tefat lei ka laflafu faat es nalailbon onleii, mais natuin usi in manekan ma tuntakus", yang berarti, tidak ada suatu prencanaan dari nenek moyang kita di massa lalu untuk bertemu hari ini, sehingga ini bukan sekedar terjadi demikian tetapi semua itu atas perkenanan dari Tuhan.

Natoni juga bisa disebut sebagai pantun adat yang memiliki makna memberi motifasi, karena dalam penyampaian kalimat natoni banyak hal trasional diungkapkan.

Petrus Ana Andung dalam penelitiannya yang dipublikasikan di dalam Jurnal Ilmu Komunikasi volume 8, nomor 1, Januari-April 2010 menjelaskan, natoni adalah salah satu budaya masyarakat Boti Dalam yang paling disakralkan. Masyarakat Boti Dalam memberi nilai lebih yang sangat tinggi pada natoni. Heka Benu menuturkan, Natoin lek na uab lek ma upaâ?? neu monit mansian. Es leâ?? atoin Boti in mes henokan bin. Kalo atoni lek na tiun fa alat, lek na atoin kanaâ?? hin fa alat.

Natoni merupakan sesuatu upacara adat yang sangat sakral dan berarti sehingga setiap orang Boti harus menghadirinya. Kalau tidak ikut maka sama dengan orang yang tidak tahu adat atau tidak berbudaya. Suku Boti Dalam juga menganggap natoni sebagai doa bersama masyarakat. Doa-doa ini menurut mereka, dinaikkan sebagai permohonan warga kepada dewa langit (uis neno) termasuk di dalamnya para arwah orang mati, dan dewa bumi (uis pah). Sebagai doa kepada para dewa, kekuatan natoni sangat sakral dalam kehidupan masyarakat suku Boti Dalam. Mereka percaya bahwa penuturan natoni dalam konteks tertentu sebagai bagian dari upacara pemujaan, memiliki kekuatan yang cukup ampuh memecahkan persoalan yang mereka hadapi. Sebaliknya, malapetaka dapat menjadi ancaman bilamana tidak dilakukan natoni. Misalnya saat terjadi kematian, bila tidak dilakukan natoni amates (natoni kematian) maka bisa berakibat fatal berupa kematian yang akan menimpa anggota keluarga lainnya, karena roh orang yang meninggal diyakini belum tenang.

Natoni oleh warga suku Boti Dalam dianggap sakti atau keramat. Akibatnya warga suku Boti Dalam kemudian menggunakan natoni sebagai alat untuk melakukan sumpah warga. Ini terutama saat terjadi perebutan atau konflik berkaitan dengan batas wilayah. Warga Boti Dalam dapat melakukan natoni pah. Dipercaya bahwa saat melakukan natoni jenis ini, pihak yang bersalah akan ditimpa kematian dalam waktu tidak kurang dari satu tahun. Karena itu, bila ada salah seorang atau lebih dari pihak yang bersengketa meninggal dunia dalam kurun waktu itu maka dianggap sebagai pihak yang kalah dalam konflik tersebut.

Natoni dalam pemanfaatannya sebagai salah satu bentuk media tradisional dalam masyarakat Boti Dalam memperlihatkan beberapa fungsi, antara lain, fungsi membawakan pesan, pola komunikasi untuk kepentingan menyampaikan pesan dari pengirim ke penerima dalam natoni ada komunikasi satu arah dimana tidak terjadi natoni berbalas-balasan, terjadi dalam natoni pah, natoni kematian, natoni sium kap mafleâ??u, dan natoni tafetin kap mafleâ??u. Sebaliknya komunikasi timbal balik di antara dua kelompok natoni terjadi khususnya saat acara perkawinan (natoni ma fet ma monet).

Pada acara ini, kedua kelompok natoni dari kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) akan saling memberi informasi secara timbal balik. Semua informasi yang disampaikan oleh atonis dan na heâ??en walaupun dikemas sedemikian rupa dalam bentuk bahasa kiasan adat, umumnya dapat ditafsirkan, dipahami dan dimengerti oleh sesama warga Boti Dalam. Pihak luar yang dapat berkomunikasi dalam bahasa daerah dawan (uab meto) pun dapat menafsirkan makna pesan yang terdapat di dalam natoni.

Fungsi mendidik, natoni perkawinan mengandung pula pesan-pesan didikan khususnya kepada suami isteri yang menggelar upacara perkawinan. Unsur mendidik tersebut nampak dalam wujud pesan-pesan agar membangun rumah

tangga dengan baik, mengusahakan kebun dan ternak dengan berhasil, serta memelihara dan mengasuh anak-anak dengan baik. Fungsi transmisi warisan sosial, nampak ketika upacara ritual natoni dilangsungkan, secara tidak langsung terjadi proses pembelajaran dari generasi tua yang umumnya sebagai pelaku natoni kepada generasi muda. Dalam tradisi Boti Dalam, natoni merupakan salahsatu upacara adat yang diterima dan diwariskan dari generasi sebelumnya secara turun-temurun. Nenek moyang orang Boti Dalam telah menurunkan kebiasaan ber-natoni ini sehingga tidak punah hingga saat ini.

Proses pewarisan natoni sebagai salah satu nilai sosial yang dipelihara warga Boti Dalam berlangsung secara alamiah. Tidak terjadi proses pembelajaran dalam melakukan natoni. Walau pergeseran terus terjadi, namun hingga saat ini warga suku Boti Dalam tetap mempertahankan keaslian natoni. Budaya tutur ini harus terus dipertahankan keasliannya agar tetap diwariskan kepada generasi selanjutnya. Fungsi transformasi sosial natoni harus tetap dipertahankan sehingga nantinya tidak hanya Suku Boti Dalam, namun semua masyarakat adat Timor mampu membahasakan natoni. Masyarakat Timor mampu menjadi atoin-atoin Handal.


Leksi Salukh, lahir di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Aktif menulis kebudayaan, dan kini menjadi reporter di Victory News