Minggu, 04 Agustus 2013

Natoni, Bahasa Verbal Sarat Makna

Leksi Salukh 






Jika di Ende, Flores, masyarakat mengenal ada be'a, sapaan adat dalam bahasa Lio, maka di Timor masyarakat adat memiliki sapaan adat tersendiri yang dikenal dengan natoni. Natoni merupakan ungkapan pesan-pesan yang dinyatakan dalam bentuk syair-syair bahasa kiasan adat yang dituturkan secara lisan oleh seorang penutur (atonis) yang dilakukan dengan ditemani oleh sekelompok orang sebagai pendamping yang dinekal dengan sebutan na heâ??en yang ditujukan baik kepada sesama manusia maupun kepada para arwah orang mati atau dewa. Dalam natoni, yang bertindak sebagai pengirim pesan disebut atonis dan na heâ??en. Pesan yang diungkapkan melalui syair-syair natoni yang diucapkan menyerupai pantun. Natoni biasanya disampaikan kepada sesama manusia, juga kepada arwah orang mati atau para dewa yang disembah.

Natoni sebenarnya lebih kepada interaksi satu arah. Hanya natoni perkawinan yang ada nuansa dialognya. Sebaliknya bila natoni ditujukan untuk arwah leluhur maka dilakukan ibarat doa bersama. Natoni merupakan sarana komunikasi tradisional yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan tertentu baik kepada sesama warga maupun kepada para leluhur.

Natoni biasanya dituturkan dalam rangka upacara adat baik adat perkawinan maupun kematian, juga acara-acara seremonial lainnya misalnya saat penyambutan dan pelepasan tamu. Menurut Ayub Salu, salah seorang penutur natoni atau atonis di Kupang kepada VN, natoni merupakan tutur yang disampaikan dengan santun dan bermakna sangat dalam. Kalimat santun yang dirangakai oleh orang yang memiliki kemampuan tutur natoni. Karena itu, kata Ayub, penutur natoni atau natonis tidak semua orang Timor mampu melakukannya. Setiap kalimat natoni harus diramu dan disampaikan sesui dengan tahapan dan runutan secara baik dan benar pada momen yang tepat. Natoni adat biasanya disandingkan bersama oko mama (tempat sirih pinang).

Ketika natoni disampaikan, ada na he'en yang mendampingi sambil memegang oko mama. Biasanya di dalam oko mama selain berisikan siri pinang, juga berisi uang. Nilai nominal berapapun tidak dipersoalkan, karena walaupun nilai nominalnya kecil, namun memiliki makna yang sangat besar. "Angka nominal uang tidak menjadi persoalan melainkan berjalanya prosesi yang lebih diutamakan," kata Salu.

Natoni, lanjutnya, berisikan hal-hal yang berkaitan dengan alam (pah), dan natoni yang berkaitan dengan masalah manusia atau sosial kemasyarakatan (natoni lasi). Natoni yang masih tetap bertahan dalam keasliannya hanya terdapat di masyarakat Boti Dalam yang masih memegang teguh kepercayaan halaika yang dianut nenek moyang mereka. Natoni yang diwariskan para leluhur tetap dipelihara, dan diwariskan secara turun-temurun tanpa merubah bentuk pelaksanaannya.

Saat ini, natoni selain yang dilaksanakan oleh masyarakat Boti Dalam, masyarakat Timor seperti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, dan sebagian wilayah Kabupaten Kupang, masih tetap mempertahankan natoni. Hanya saja, selain untuk acara adat perkawinan, natoni juga biasanya dipakai dalam penyambutan tamu-tamu resmi pada saat masuk dalam tempat acara.

Sementara Gomer Liufeto, juga seorang atonis mengatakan, sering didengar istilah atoin pah meto atau atoin meto, sebenarnya tidak saja memiliki makna sama orang Timor saja tetapi bisa dimaknai atoin pah meto yang bisa diartikan sebagai penutur lahan kering.

Natoni adat memiliki nilai seni yakni bisa mengikatsatukan berbagai pihak dengan olahan tutur. Natoni, kata dia, biasanya juga berisikan sejarah atau kisah-kisah perjalanan nenek moyang leluhur masyarakat Timor di masa lampau, dan mengambarkan apa yang dialami sekarang.







"Afi unun kan muif else la hen natenab hen na ekub kit bi neno i,na ko mais un ini, he nati ta ekum tabua, es le nanet ka laf-lafu fat hit taekum tabua, es onanet Ekus tefat lei ka laflafu faat es nalailbon onleii, mais natuin usi in manekan ma tuntakus", yang berarti, tidak ada suatu prencanaan dari nenek moyang kita di massa lalu untuk bertemu hari ini, sehingga ini bukan sekedar terjadi demikian tetapi semua itu atas perkenanan dari Tuhan.

Natoni juga bisa disebut sebagai pantun adat yang memiliki makna memberi motifasi, karena dalam penyampaian kalimat natoni banyak hal trasional diungkapkan.

Petrus Ana Andung dalam penelitiannya yang dipublikasikan di dalam Jurnal Ilmu Komunikasi volume 8, nomor 1, Januari-April 2010 menjelaskan, natoni adalah salah satu budaya masyarakat Boti Dalam yang paling disakralkan. Masyarakat Boti Dalam memberi nilai lebih yang sangat tinggi pada natoni. Heka Benu menuturkan, Natoin lek na uab lek ma upaâ?? neu monit mansian. Es leâ?? atoin Boti in mes henokan bin. Kalo atoni lek na tiun fa alat, lek na atoin kanaâ?? hin fa alat.

Natoni merupakan sesuatu upacara adat yang sangat sakral dan berarti sehingga setiap orang Boti harus menghadirinya. Kalau tidak ikut maka sama dengan orang yang tidak tahu adat atau tidak berbudaya. Suku Boti Dalam juga menganggap natoni sebagai doa bersama masyarakat. Doa-doa ini menurut mereka, dinaikkan sebagai permohonan warga kepada dewa langit (uis neno) termasuk di dalamnya para arwah orang mati, dan dewa bumi (uis pah). Sebagai doa kepada para dewa, kekuatan natoni sangat sakral dalam kehidupan masyarakat suku Boti Dalam. Mereka percaya bahwa penuturan natoni dalam konteks tertentu sebagai bagian dari upacara pemujaan, memiliki kekuatan yang cukup ampuh memecahkan persoalan yang mereka hadapi. Sebaliknya, malapetaka dapat menjadi ancaman bilamana tidak dilakukan natoni. Misalnya saat terjadi kematian, bila tidak dilakukan natoni amates (natoni kematian) maka bisa berakibat fatal berupa kematian yang akan menimpa anggota keluarga lainnya, karena roh orang yang meninggal diyakini belum tenang.

Natoni oleh warga suku Boti Dalam dianggap sakti atau keramat. Akibatnya warga suku Boti Dalam kemudian menggunakan natoni sebagai alat untuk melakukan sumpah warga. Ini terutama saat terjadi perebutan atau konflik berkaitan dengan batas wilayah. Warga Boti Dalam dapat melakukan natoni pah. Dipercaya bahwa saat melakukan natoni jenis ini, pihak yang bersalah akan ditimpa kematian dalam waktu tidak kurang dari satu tahun. Karena itu, bila ada salah seorang atau lebih dari pihak yang bersengketa meninggal dunia dalam kurun waktu itu maka dianggap sebagai pihak yang kalah dalam konflik tersebut.

Natoni dalam pemanfaatannya sebagai salah satu bentuk media tradisional dalam masyarakat Boti Dalam memperlihatkan beberapa fungsi, antara lain, fungsi membawakan pesan, pola komunikasi untuk kepentingan menyampaikan pesan dari pengirim ke penerima dalam natoni ada komunikasi satu arah dimana tidak terjadi natoni berbalas-balasan, terjadi dalam natoni pah, natoni kematian, natoni sium kap mafleâ??u, dan natoni tafetin kap mafleâ??u. Sebaliknya komunikasi timbal balik di antara dua kelompok natoni terjadi khususnya saat acara perkawinan (natoni ma fet ma monet).

Pada acara ini, kedua kelompok natoni dari kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) akan saling memberi informasi secara timbal balik. Semua informasi yang disampaikan oleh atonis dan na heâ??en walaupun dikemas sedemikian rupa dalam bentuk bahasa kiasan adat, umumnya dapat ditafsirkan, dipahami dan dimengerti oleh sesama warga Boti Dalam. Pihak luar yang dapat berkomunikasi dalam bahasa daerah dawan (uab meto) pun dapat menafsirkan makna pesan yang terdapat di dalam natoni.

Fungsi mendidik, natoni perkawinan mengandung pula pesan-pesan didikan khususnya kepada suami isteri yang menggelar upacara perkawinan. Unsur mendidik tersebut nampak dalam wujud pesan-pesan agar membangun rumah

tangga dengan baik, mengusahakan kebun dan ternak dengan berhasil, serta memelihara dan mengasuh anak-anak dengan baik. Fungsi transmisi warisan sosial, nampak ketika upacara ritual natoni dilangsungkan, secara tidak langsung terjadi proses pembelajaran dari generasi tua yang umumnya sebagai pelaku natoni kepada generasi muda. Dalam tradisi Boti Dalam, natoni merupakan salahsatu upacara adat yang diterima dan diwariskan dari generasi sebelumnya secara turun-temurun. Nenek moyang orang Boti Dalam telah menurunkan kebiasaan ber-natoni ini sehingga tidak punah hingga saat ini.

Proses pewarisan natoni sebagai salah satu nilai sosial yang dipelihara warga Boti Dalam berlangsung secara alamiah. Tidak terjadi proses pembelajaran dalam melakukan natoni. Walau pergeseran terus terjadi, namun hingga saat ini warga suku Boti Dalam tetap mempertahankan keaslian natoni. Budaya tutur ini harus terus dipertahankan keasliannya agar tetap diwariskan kepada generasi selanjutnya. Fungsi transformasi sosial natoni harus tetap dipertahankan sehingga nantinya tidak hanya Suku Boti Dalam, namun semua masyarakat adat Timor mampu membahasakan natoni. Masyarakat Timor mampu menjadi atoin-atoin Handal.


Leksi Salukh, lahir di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Aktif menulis kebudayaan, dan kini menjadi reporter di Victory News




Tidak ada komentar:

Posting Komentar