Leksi Salukh
Jika di Ende, Flores, masyarakat mengenal ada be'a,
sapaan adat dalam bahasa Lio, maka di Timor masyarakat adat memiliki sapaan
adat tersendiri yang dikenal dengan natoni. Natoni merupakan ungkapan pesan-pesan
yang dinyatakan dalam bentuk syair-syair bahasa kiasan adat yang dituturkan
secara lisan oleh seorang penutur (atonis) yang dilakukan dengan ditemani oleh
sekelompok orang sebagai pendamping yang dinekal dengan sebutan na heâ??en yang
ditujukan baik kepada sesama manusia maupun kepada para arwah orang mati atau
dewa. Dalam natoni, yang bertindak sebagai pengirim pesan disebut atonis dan na
heâ??en. Pesan yang diungkapkan melalui syair-syair natoni yang diucapkan
menyerupai pantun. Natoni biasanya disampaikan kepada sesama manusia, juga
kepada arwah orang mati atau para dewa yang disembah.
Natoni sebenarnya lebih kepada interaksi satu arah.
Hanya natoni perkawinan yang ada nuansa dialognya. Sebaliknya bila natoni
ditujukan untuk arwah leluhur maka dilakukan ibarat doa bersama. Natoni
merupakan sarana komunikasi tradisional yang dipergunakan untuk menyampaikan
pesan tertentu baik kepada sesama warga maupun kepada para leluhur.
Natoni biasanya dituturkan dalam rangka upacara adat
baik adat perkawinan maupun kematian, juga acara-acara seremonial lainnya
misalnya saat penyambutan dan pelepasan tamu. Menurut Ayub Salu, salah seorang
penutur natoni atau atonis di Kupang kepada VN, natoni merupakan tutur yang
disampaikan dengan santun dan bermakna sangat dalam. Kalimat santun yang
dirangakai oleh orang yang memiliki kemampuan tutur natoni. Karena itu, kata
Ayub, penutur natoni atau natonis tidak semua orang Timor mampu melakukannya.
Setiap kalimat natoni harus diramu dan disampaikan sesui dengan tahapan dan runutan
secara baik dan benar pada momen yang tepat. Natoni adat biasanya disandingkan
bersama oko mama (tempat sirih pinang).
Ketika natoni disampaikan, ada na he'en yang
mendampingi sambil memegang oko mama. Biasanya di dalam oko mama selain
berisikan siri pinang, juga berisi uang. Nilai nominal berapapun tidak
dipersoalkan, karena walaupun nilai nominalnya kecil, namun memiliki makna yang
sangat besar. "Angka nominal uang tidak menjadi persoalan melainkan
berjalanya prosesi yang lebih diutamakan," kata Salu.
Natoni, lanjutnya, berisikan hal-hal yang berkaitan
dengan alam (pah), dan natoni yang berkaitan dengan masalah manusia atau sosial
kemasyarakatan (natoni lasi). Natoni yang masih tetap bertahan dalam
keasliannya hanya terdapat di masyarakat Boti Dalam yang masih memegang teguh
kepercayaan halaika yang dianut nenek moyang mereka. Natoni yang diwariskan
para leluhur tetap dipelihara, dan diwariskan secara turun-temurun tanpa
merubah bentuk pelaksanaannya.
Saat ini, natoni selain yang dilaksanakan oleh masyarakat
Boti Dalam, masyarakat Timor seperti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor
Tengah Utara, dan sebagian wilayah Kabupaten Kupang, masih tetap mempertahankan
natoni. Hanya saja, selain untuk acara adat perkawinan, natoni juga biasanya
dipakai dalam penyambutan tamu-tamu resmi pada saat masuk dalam tempat acara.
Sementara Gomer Liufeto, juga seorang atonis
mengatakan, sering didengar istilah atoin pah meto atau atoin meto, sebenarnya
tidak saja memiliki makna sama orang Timor saja tetapi bisa dimaknai atoin pah
meto yang bisa diartikan sebagai penutur lahan kering.
Natoni adat memiliki nilai seni yakni bisa
mengikatsatukan berbagai pihak dengan olahan tutur. Natoni, kata dia, biasanya
juga berisikan sejarah atau kisah-kisah perjalanan nenek moyang leluhur
masyarakat Timor di masa lampau, dan mengambarkan apa yang dialami sekarang.
"Afi unun kan muif else la hen natenab hen na
ekub kit bi neno i,na ko mais un ini, he nati ta ekum tabua, es le nanet ka
laf-lafu fat hit taekum tabua, es onanet Ekus tefat lei ka laflafu faat es
nalailbon onleii, mais natuin usi in manekan ma tuntakus", yang berarti,
tidak ada suatu prencanaan dari nenek moyang kita di massa lalu untuk bertemu
hari ini, sehingga ini bukan sekedar terjadi demikian tetapi semua itu atas perkenanan
dari Tuhan.
Natoni juga bisa disebut sebagai pantun adat yang
memiliki makna memberi motifasi, karena dalam penyampaian kalimat natoni banyak
hal trasional diungkapkan.
Petrus Ana Andung dalam penelitiannya yang
dipublikasikan di dalam Jurnal Ilmu Komunikasi volume 8, nomor 1, Januari-April
2010 menjelaskan, natoni adalah salah satu budaya masyarakat Boti Dalam yang
paling disakralkan. Masyarakat Boti Dalam memberi nilai lebih yang sangat
tinggi pada natoni. Heka Benu menuturkan, Natoin lek na uab lek ma upaâ?? neu
monit mansian. Es leâ?? atoin Boti in mes henokan bin. Kalo atoni lek na tiun
fa alat, lek na atoin kanaâ?? hin fa alat.
Natoni merupakan sesuatu upacara adat yang sangat
sakral dan berarti sehingga setiap orang Boti harus menghadirinya. Kalau tidak ikut
maka sama dengan orang yang tidak tahu adat atau tidak berbudaya. Suku Boti
Dalam juga menganggap natoni sebagai doa bersama masyarakat. Doa-doa ini
menurut mereka, dinaikkan sebagai permohonan warga kepada dewa langit (uis
neno) termasuk di dalamnya para arwah orang mati, dan dewa bumi (uis pah).
Sebagai doa kepada para dewa, kekuatan natoni sangat sakral dalam kehidupan
masyarakat suku Boti Dalam. Mereka percaya bahwa penuturan natoni dalam konteks
tertentu sebagai bagian dari upacara pemujaan, memiliki kekuatan yang cukup
ampuh memecahkan persoalan yang mereka hadapi. Sebaliknya, malapetaka dapat
menjadi ancaman bilamana tidak dilakukan natoni. Misalnya saat terjadi
kematian, bila tidak dilakukan natoni amates (natoni kematian) maka bisa
berakibat fatal berupa kematian yang akan menimpa anggota keluarga lainnya,
karena roh orang yang meninggal diyakini belum tenang.
Natoni oleh warga suku Boti Dalam dianggap sakti atau
keramat. Akibatnya warga suku Boti Dalam kemudian menggunakan natoni sebagai
alat untuk melakukan sumpah warga. Ini terutama saat terjadi perebutan atau
konflik berkaitan dengan batas wilayah. Warga Boti Dalam dapat melakukan natoni
pah. Dipercaya bahwa saat melakukan natoni jenis ini, pihak yang bersalah akan
ditimpa kematian dalam waktu tidak kurang dari satu tahun. Karena itu, bila ada
salah seorang atau lebih dari pihak yang bersengketa meninggal dunia dalam
kurun waktu itu maka dianggap sebagai pihak yang kalah dalam konflik tersebut.
Natoni dalam pemanfaatannya sebagai salah satu bentuk
media tradisional dalam masyarakat Boti Dalam memperlihatkan beberapa fungsi,
antara lain, fungsi membawakan pesan, pola komunikasi untuk kepentingan
menyampaikan pesan dari pengirim ke penerima dalam natoni ada komunikasi satu
arah dimana tidak terjadi natoni berbalas-balasan, terjadi dalam natoni pah,
natoni kematian, natoni sium kap mafleâ??u, dan natoni tafetin kap mafleâ??u.
Sebaliknya komunikasi timbal balik di antara dua kelompok natoni terjadi
khususnya saat acara perkawinan (natoni ma fet ma monet).
Pada acara ini, kedua kelompok natoni dari kedua belah
pihak (laki-laki dan perempuan) akan saling memberi informasi secara timbal
balik. Semua informasi yang disampaikan oleh atonis dan na heâ??en walaupun
dikemas sedemikian rupa dalam bentuk bahasa kiasan adat, umumnya dapat
ditafsirkan, dipahami dan dimengerti oleh sesama warga Boti Dalam. Pihak luar
yang dapat berkomunikasi dalam bahasa daerah dawan (uab meto) pun dapat
menafsirkan makna pesan yang terdapat di dalam natoni.
Fungsi mendidik, natoni perkawinan mengandung pula
pesan-pesan didikan khususnya kepada suami isteri yang menggelar upacara
perkawinan. Unsur mendidik tersebut nampak dalam wujud pesan-pesan agar
membangun rumah
tangga dengan baik, mengusahakan kebun dan ternak
dengan berhasil, serta memelihara dan mengasuh anak-anak dengan baik. Fungsi
transmisi warisan sosial, nampak ketika upacara ritual natoni dilangsungkan,
secara tidak langsung terjadi proses pembelajaran dari generasi tua yang
umumnya sebagai pelaku natoni kepada generasi muda. Dalam tradisi Boti Dalam,
natoni merupakan salahsatu upacara adat yang diterima dan diwariskan dari
generasi sebelumnya secara turun-temurun. Nenek moyang orang Boti Dalam telah
menurunkan kebiasaan ber-natoni ini sehingga tidak punah hingga saat ini.
Proses pewarisan natoni sebagai salah satu nilai
sosial yang dipelihara warga Boti Dalam berlangsung secara alamiah. Tidak
terjadi proses pembelajaran dalam melakukan natoni. Walau pergeseran terus
terjadi, namun hingga saat ini warga suku Boti Dalam tetap mempertahankan
keaslian natoni. Budaya tutur ini harus terus dipertahankan keasliannya agar
tetap diwariskan kepada generasi selanjutnya. Fungsi transformasi sosial natoni
harus tetap dipertahankan sehingga nantinya tidak hanya Suku Boti Dalam, namun
semua masyarakat adat Timor mampu membahasakan natoni. Masyarakat Timor mampu
menjadi atoin-atoin Handal.
Leksi Salukh, lahir di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Aktif menulis kebudayaan, dan kini menjadi reporter di Victory News
Tidak ada komentar:
Posting Komentar