PERSOALAN sosial dan kondisi bangsa tak lepas dari pengamatan penyair Iwan Kurniawan. Ia mampu menuangkan imajinasinya untuk diabadikan menjadi karya-karya bermakna yang mampu merasuki jiwa pembaca.
Lelaki kelahiran Pulau Timor, Nusa
Tenggara Timur, itu baru saja mengeluarkan buku kumpulan puisi keduanya
"Rontaan Masehi". Puisi-puisinya banyak bercerita tentang kerinduan
pada ‘Ibu’, pemberontakan atas kehidupan yang tak hidup, dan kecemasan tentang
kondisi sosial di negeri ini.
Tanah rantau yang menawarkan aneka warna
dan keglamoran pun tak lantas membuat dia lupa kampung halaman. Terutama, pada
tanah leluhur yang penuh dengan harum cendana, cengkeh, hingga bau bebatuan.
Kondisi ini justru semakin mematangkannya dalam menerjemahkan kata kebangsaan
dalam bait-bait sajaknya.
Dengan kata lain, sajak-sajak Iwan
adalah kata religiusitas, kata kerinduan, kata perjalanan, dan kata kecemasan
akan kebangsaan yang masih belum sejalan dengan harapan. Penyair yang dulu
pernah berambut gondrong ini juga tak jarang bersitegang dengan keadaan. Dia
mampu untuk berkompromi dengan batin, meski gelisah tak kunjung sudah.
Iwan yang juga bekerja sebagai jurnalis seni budaya Harian Umum Media Indonesia pun menebus segala ide dan tafsir misteri. Ia menuliskan segala sesuatunya dalam bebait kata yang disebut puisi.
Penyair ini menamatkan pendidikan
sarjananya di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran (Unpad),
Bandung, Jawa Barat. Buku kumpulan puisi perdananya diterbitkan semasa kuliah,
yaitu “Tapisan Jemari” (2005).
Kini, untuk menjaga daya literer dan
kepekaan batinnya, dia tetap berkarya. Bisa jadi, dengan bersajak segala rasa
kerinduan hingga kecemasan terhadap kondisi sosial bisa sedikit terlunaskan
lewat puisi.
Sastrawan kawakan Gerson Poyk menilai puisi-puisi
Iwan adalah tentang berbagai hal dalam mozaik kehidupan. Ada absurditas, ada
kritik sosial, ada kerinduan. Semuanya diramu dengan pergolakan dan pergulatan
batin yang tak kenal kata akhir.
“Absurditas kehidupan menjadi cermin betapa
kehampaan dan kefanaan selalu menyertai di mana pun kita berada,” ujar peraih hadiah sastra ASEAN, Sea Write Award (1989),
itu.
Gerson juga menyoroti beberapa sajak dalam
buku kumpulan puisi “Rontaan Masehi”. Semisal sajak berjudul ‘Hampir Maut’: kau
menatap jauh//suara gitar menembus balik beranda//sahabat dan perjuangan
menghilang selepas kereta kencana//pertemuan lautan embun dan suara semampai
dedaunan//kau menatap jauh//menanti seorang lahir baru di kening mazmur//.
“Diksi yang Iwan hadirkan sangat bagus.
Ia mampu menghadirkan pemikiran yang orisinalitas dan autentik. Ini yang jarang
dimiliki penyair muda sekarang ini,” ujar Gerson yang juga memberikan testimoni
dalam buku setebal 98 itu.
Tak hanya itu, ada pula sajak berjudul
‘Pulang’: aku pulang, Ibu//deru kota berputar dengan taring-taring tinggi//ada
tongkat menikam dalam tanah//memandang angkuh pada langit//aku pulang,
Ibu//seonggok perasaan begitu lelah//bendera-bendera kusam//terseret angin
jahat//aku pulang, Ibu//ingin kucium aroma cendana di lehermu//.
“Dengan segala upaya dalam proses
kreatifnya, di antara dua dunia yang digelutinya yaitu jurnalistik dan sastra,
Iwan mampu menghadirkan oase, Buku kumpulan ini memang laik dibaca,” jelas
Kepala Pelaksana Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin Ariany Isnamurti.
Buku kumpulan puisi “Rontaan Masehi”
telah dihelat pada, Jumat 20 September 2013 lalu di Pusat Dokumentasi Sastra
(PDS), H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.
Buku itu terdiri dari dua bagian. Bagian
pertama berisi 29 judul puisi. Sedangkan pada bagian kedua terhimpun 34 judul
puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar