Senin, 16 September 2013

Sajak Penyejuk Rindu




Malam mulai larut. Sisa-sisa hujan menambah dingin udara hingga menusuk tulang. Malam ini sungguh gelap. Lampu jalan tidak dinyalakan orang, kendaraan tidak ada yang lewat. Satu persatu rumah penduduk ikut gelap. Hanya ada satu lampu redup yang tersisa di teras rumah penduduk. Itu pun hanya tiga atau empat rumah yang memiliki teras. Selebihnya ikut kelam ditelan malam. Para penghuninya kembali ke peraduan masing-masing.      

Di satu rumah, terlihat seorang gadis masih sibuk dengan gadget yang dimilikinya. Duduk di teras yang sengaja dimatikan lampunya supaya tidak ada yang melihatnya. Takut-takut nanti dikira orang dia adalah hantu perempuan penghuni teras. Lagian, selarut ini, ngapain juga anak gadis duduk sendiri di depan rumah.
Di zaman yang serba canggih ini, dia hanya memiliki satu buah hand phone yang dibeli dengan uang tabungan sendiridan satu laptop hadiah dari ibunya setelah mendapat dana perbaikan rumah pascagempa. Dia tengah membaca dan menunggu kiriman puisi masuk ke inbox-nya.

Mengenakan jaket tebal besar milik ibunya, dia senyum-senyum sendiri dan sesekali tak bisa menahan tawa menatap layar HP. Dia membaca puisi dari penyair-penyair yang setia menghadiahinya sajak-sajak penghanyut. Penyair-penyair itu adalah orang-orang yang bisa membuatnya lupa dengan permasalahan hidup. Mereka adalah penyair yang bakal dikenal oleh orang banyak, yang puisinya dimuat diberbagai media atau tersusun rapi dalam buku kumpulan puisi. Khusus baginya, mereka adalah yang terhebat dan termahsyur.

Sebulan ini dia giat belajar membaca dan menulis. Belajar menyelami setiap kata yang terangkai dalam frasa, kalusa, dan kalimat, hingga paragraf sampai wacana. Membuatnya berpikir ribuan kali, takut salah tafsir. Ya, kata-kata pada karya indah sang sastrawan, yang baru tersohor namanya, di benak gadis itu saja.

Setiap hari ada beberapa puisi yang dia terima, sebagai hadiah khusus untuknya. Setiap minggu paling sedikit ada tiga cerpen yang harus dibaca, sebagai hadiah dari cerpenis terkemuka, baginya.

Berawal dari cerpen yang dikirim oleh seseorang yang dijumpainya ketika mengikuti pelatihan menulis pertengahan bulan lalu. Dia tercengang membaca cerpen itu. Sosok gadis minang yang diceritakan di dalam cerpen itu sangat dia kenal. Ya, tokoh dalam cerpen itu adalah dirinya sendiri, yang dikisahkan memakai nama lain. Tak puas sekali baca, dia baca lagi, dan dia tertawa. Tidak tahan membaca deskripsi tubuh dan tingkah dirinya sendiri yang diuraikan dalam cerpen itu. Bak membaca diri sendiri, sungguh malu rasanya. Dia baca sekali lagi, lepas, dia tertawa lagi. Sekarang dia menertawai dirinya sendiri yang sudah tertipu. Ternyata penulis cerpen yang memosisikan diri sebagai tokoh utama di dalam cerita itu telah membohonginya. Junaedi (nama penulis dalam cerita sebagi tokoh utama) berpura-pura tidak tahu cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,yang tengah digarap untuk difilmkan. Junaedi menanyakan cerita  karya Buya Hamka itu dan tentang adat istiadat Minang, pokoknya semua tentang kampung halamannya, ternyata hanya modus agar bisa ngobrol lebih lama. Kebohongan yang sangat dia hargai.

Cerpen itulah yangmengugahnya untuk menulis juga. Setelah membaca cerpen itu, dia terus berlatih merangkai kata penampung rasa dan hayal milikinya. Beberapa kali larik yang tercipta tak berhasil menjadi sebuah puisi. Beberapa paragraf yang telah disusun tak sampai menjadi sebuah wacana prosa, cerpen. Ah, benar-benar malam-malam itu membuatnya makin tak sabar mencurahkan gejolak hati dalam untaian kata.

Berbagai kendala dalam menulis dihadapinya. Kebingungan ketika akan menulis, kesulitan mengembangkan karangan, kehabisan kata, dan lainnya yang pernah dialami penulis pemula pada umumnya, pernah dia rasakan. Sering dia menyendiri mencari inspirasi. Bertingkah aneh agar sesuatu yang diharapkannya datang. Terkadang, dia sengaja membuat ibunya menegur, memberi nasehat, bahkan sengaja memancing marah ibunya. Lebih heran, dia sengaja menuduh pacarnya selingkuh sehingga terjadi perdebatan sengit di antara dia dan lelaki yang sedang berada di rantau orang itu. Dia mengeluarkan jurus jitu ala kaum hawa  yang membuatlelaki itu tak tega mendengar isaknya, dan menempatkan dirinya sebagai perempuan tak berdosa.Hanya supaya ada perasaan lain mengisi hatinya.Ya, sesuatu yang memaksa jari-jari menekan keyboard, mengisi layar putih microsoft word.

Seperti malam ini, dia duduk sendiri di teras rumahnya. Tak takut dengan gelap yang mengukung, bunyi gerimis dan jengkrik membuat lain suasana, dan angin yang menghembus  pundaknya, serta suara gonggongan anjing menambah aneh suasana. Malam sudah larut, dia tidak peduli.

Ditengah kecamuk hati yang diurung rasa sepi setelah sekian lama ditinggal oleh orang-orang terdekatnya, ayah pergi untuk selamanya, pacar pergi untuk beberapa bulan mendatang, sahabat-sahabat merantau untuk menimba ilmu di negeri orang, kakak yang jarang pulang karena kegiatan kantor yang padat, dan adik yang jarang pulang semenjak masuk kuliah. Meski ada ibu di rumah yang bisa diajaknya bicara, namun waktu luang yang tersisa hanyalah malam, waktu untuk ibu menumpahkan lelah di tempat tidur, yang sangat sayang jika diganggu. Sepi selalu menyergapnya di rumah sederhana yang cukup bersar ditempati oleh dua orang itu. Dia hanya bisa menikmati keadaan itu.

Sebulan terakhir, sepi itu mulai bisa ditepis. Karya sastra yang diterima sebagai hadiah itu mampu menemaninya di malam-malam sunyi. Setiap kumpulan kata itu dia anggap sebagai sesuatu yang indah.Bahkan, do’a yang dikirim seseorang yang diharapkannya selalu memberi nasehat dan bimbingan layaknya seorang ayah, dianggapnya pula sebagai puisi. Dia baca berulang kali. Tersenyum, tertawa, mengusap air mata, termenung. Membuat hati penuh warna.

Dia terdiam memikirkan kenapa begitu sulit baginya menuliskan apa yang sudah ada dibenaknya. Ada sesuatu yang dirasa belum ada.

“Ana, kamu masih di luar?” suara ibunya menyentakkan lamunannya.
“Iya, sebentar lagi masuk, Bu,” jawab seadanya sambil mengantongi telepon genggamnya, melanjutkan menungnya.
“Ngapain kamu masih di situ? Apa tidak takut dihampiri hantu? Coba dengar, anjing meraung tak henti, itu pertanda ada hantu yang dilihatnya.”

Mendengar itu dia langsung memeluk laptop, masuk, dan mengunci pintu. Berlari ke dalam rumah yang sudah gelap menuju kamar tidur.

“Ih, takut. Ada hantu. Eh suara hantu. Iiii sereem,” kelabakan, dia bicara sendiri sambil mengusap-usap kuduknya, terasa bulu romanya berdiri. 
Menarik selimut dan memeluk gulingnya erat-erat. Beberapa saat berkulumun di dalam selimut, terpikir olehnya apa yang dikatakan ibunya tadi. Anjing menggonggong tak henti pertanda si anjing melihat hantu.
Keluar dari selimut, dia mengucek-ngucek mata dan mengusap muka. Dihidupkan lagi laptop. Terdengar suara hujan menderas dan gemuruh bersahutan. ‘Sesuatu’ itu telah dia dapatkan. Dan mulai menulis,
Malam, Gelap, Hujan, Dingin, Sendiri, Sedih, Lelah, Takut, Ngeri, Senyap, .....Mimpi....
Ketikannya terhenti, terkejut oleh getaran HP. Ada sms masuk.

Ya Allah,
di larut malam ini aku mohon ampuni dosa-dosaku
tunjuki aku jalanMu yang benar.                       
Bimbinglah gerak hati dan langkahku.
Berikan aku kemampuan membimbing gadis yang sedang berselimut ini,
Agar kelak pandai membaca realita kehidupan dengan bijak. Amiin.

“Hah? Gadis yang sedang berselimut?”
Khawatir do’a itu salah sasaran, dia bergegas menyingkirkan laptop dan menyambar selimut. Kini, dia berbaring dalam selimutnya.
Amiin... dia membatin dengan sungguh. Senyum mekar di bibirnya sambil memejamkan mata.


27 Agustus 2013

Restiana Nurman, mahasiswi Universitas Negeri Padang yang giat menulis cerpen, dan kini menjadi reporter Inioke.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar