Malam
mulai larut. Sisa-sisa hujan menambah dingin udara hingga menusuk tulang. Malam
ini sungguh gelap. Lampu jalan tidak dinyalakan orang, kendaraan tidak ada yang
lewat. Satu persatu rumah penduduk ikut gelap. Hanya ada satu lampu redup yang
tersisa di teras rumah penduduk. Itu pun hanya tiga atau empat rumah yang
memiliki teras. Selebihnya ikut kelam ditelan malam. Para penghuninya kembali
ke peraduan masing-masing.
Di
satu rumah, terlihat seorang gadis masih sibuk dengan gadget yang dimilikinya. Duduk di teras yang sengaja dimatikan
lampunya supaya tidak ada yang melihatnya. Takut-takut nanti dikira orang dia
adalah hantu perempuan penghuni teras. Lagian, selarut ini, ngapain juga anak
gadis duduk sendiri di depan rumah.
Di
zaman yang serba canggih ini, dia hanya memiliki satu buah hand phone yang dibeli dengan uang tabungan sendiridan satu laptop
hadiah dari ibunya setelah mendapat dana perbaikan rumah pascagempa. Dia tengah
membaca dan menunggu kiriman puisi masuk ke inbox-nya.
Mengenakan
jaket tebal besar milik ibunya, dia senyum-senyum sendiri dan sesekali tak bisa
menahan tawa menatap layar HP. Dia membaca puisi dari penyair-penyair yang setia
menghadiahinya sajak-sajak penghanyut. Penyair-penyair itu adalah orang-orang
yang bisa membuatnya lupa dengan permasalahan hidup. Mereka adalah penyair yang
bakal dikenal oleh orang banyak, yang puisinya dimuat diberbagai media atau
tersusun rapi dalam buku kumpulan puisi. Khusus baginya, mereka adalah yang
terhebat dan termahsyur.
Sebulan
ini dia giat belajar membaca dan menulis. Belajar menyelami setiap kata yang
terangkai dalam frasa, kalusa, dan kalimat, hingga paragraf sampai wacana. Membuatnya
berpikir ribuan kali, takut salah tafsir. Ya, kata-kata pada karya indah sang
sastrawan, yang baru tersohor namanya, di benak gadis itu saja.
Setiap
hari ada beberapa puisi yang dia terima, sebagai hadiah khusus untuknya. Setiap
minggu paling sedikit ada tiga cerpen yang harus dibaca, sebagai hadiah dari
cerpenis terkemuka, baginya.
Berawal
dari cerpen yang dikirim oleh seseorang yang dijumpainya ketika mengikuti pelatihan
menulis pertengahan bulan lalu. Dia tercengang membaca cerpen itu. Sosok gadis
minang yang diceritakan di dalam cerpen itu sangat dia kenal. Ya, tokoh dalam
cerpen itu adalah dirinya sendiri, yang dikisahkan memakai nama lain. Tak puas
sekali baca, dia baca lagi, dan dia tertawa. Tidak tahan membaca deskripsi
tubuh dan tingkah dirinya sendiri yang diuraikan dalam cerpen itu. Bak membaca
diri sendiri, sungguh malu rasanya. Dia baca sekali lagi, lepas, dia tertawa
lagi. Sekarang dia menertawai dirinya sendiri yang sudah tertipu. Ternyata
penulis cerpen yang memosisikan diri sebagai tokoh utama di dalam cerita itu
telah membohonginya. Junaedi (nama penulis dalam cerita sebagi tokoh utama)
berpura-pura tidak tahu cerita Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck,yang tengah digarap untuk difilmkan. Junaedi menanyakan
cerita karya Buya Hamka itu dan tentang
adat istiadat Minang, pokoknya semua tentang kampung halamannya, ternyata hanya
modus agar bisa ngobrol lebih lama. Kebohongan yang sangat dia hargai.
Cerpen
itulah yangmengugahnya untuk menulis juga. Setelah membaca cerpen itu, dia terus
berlatih merangkai kata penampung rasa dan hayal milikinya. Beberapa kali larik
yang tercipta tak berhasil menjadi sebuah puisi. Beberapa paragraf yang telah
disusun tak sampai menjadi sebuah wacana prosa, cerpen. Ah, benar-benar
malam-malam itu membuatnya makin tak sabar mencurahkan gejolak hati dalam
untaian kata.
Berbagai
kendala dalam menulis dihadapinya. Kebingungan ketika akan menulis, kesulitan
mengembangkan karangan, kehabisan kata, dan lainnya yang pernah dialami penulis
pemula pada umumnya, pernah dia rasakan. Sering dia menyendiri mencari
inspirasi. Bertingkah aneh agar sesuatu yang diharapkannya datang. Terkadang,
dia sengaja membuat ibunya menegur, memberi nasehat, bahkan sengaja memancing
marah ibunya. Lebih heran, dia sengaja menuduh pacarnya selingkuh sehingga
terjadi perdebatan sengit di antara dia dan lelaki yang sedang berada di rantau
orang itu. Dia mengeluarkan jurus jitu ala kaum hawa yang membuatlelaki itu tak tega mendengar
isaknya, dan menempatkan dirinya sebagai perempuan tak berdosa.Hanya supaya ada
perasaan lain mengisi hatinya.Ya, sesuatu yang memaksa jari-jari menekan keyboard, mengisi layar putih microsoft word.
Seperti
malam ini, dia duduk sendiri di teras rumahnya. Tak takut dengan gelap yang mengukung,
bunyi gerimis dan jengkrik membuat lain suasana, dan angin yang menghembus pundaknya, serta suara gonggongan anjing
menambah aneh suasana. Malam sudah larut, dia tidak peduli.
Ditengah
kecamuk hati yang diurung rasa sepi setelah sekian lama ditinggal oleh
orang-orang terdekatnya, ayah pergi untuk selamanya, pacar pergi untuk beberapa
bulan mendatang, sahabat-sahabat merantau untuk menimba ilmu di negeri orang,
kakak yang jarang pulang karena kegiatan kantor yang padat, dan adik yang
jarang pulang semenjak masuk kuliah. Meski ada ibu di rumah yang bisa diajaknya
bicara, namun waktu luang yang tersisa hanyalah malam, waktu untuk ibu menumpahkan
lelah di tempat tidur, yang sangat sayang jika diganggu. Sepi selalu
menyergapnya di rumah sederhana yang cukup bersar ditempati oleh dua orang itu.
Dia hanya bisa menikmati keadaan itu.
Sebulan
terakhir, sepi itu mulai bisa ditepis. Karya sastra yang diterima sebagai
hadiah itu mampu menemaninya di malam-malam sunyi. Setiap kumpulan kata itu dia
anggap sebagai sesuatu yang indah.Bahkan, do’a yang dikirim seseorang yang
diharapkannya selalu memberi nasehat dan bimbingan layaknya seorang ayah, dianggapnya
pula sebagai puisi. Dia baca berulang kali. Tersenyum, tertawa, mengusap air
mata, termenung. Membuat hati penuh warna.
Dia
terdiam memikirkan kenapa begitu sulit baginya menuliskan apa yang sudah ada
dibenaknya. Ada sesuatu yang dirasa belum ada.
“Ana,
kamu masih di luar?” suara ibunya menyentakkan lamunannya.
“Iya,
sebentar lagi masuk, Bu,” jawab seadanya sambil mengantongi telepon genggamnya,
melanjutkan menungnya.
“Ngapain
kamu masih di situ? Apa tidak takut dihampiri hantu? Coba dengar, anjing
meraung tak henti, itu pertanda ada hantu yang dilihatnya.”
Mendengar
itu dia langsung memeluk laptop, masuk, dan mengunci pintu. Berlari ke dalam
rumah yang sudah gelap menuju kamar tidur.
“Ih,
takut. Ada hantu. Eh suara hantu. Iiii sereem,” kelabakan, dia bicara sendiri
sambil mengusap-usap kuduknya, terasa bulu romanya berdiri.
Menarik
selimut dan memeluk gulingnya erat-erat. Beberapa saat berkulumun di dalam
selimut, terpikir olehnya apa yang dikatakan ibunya tadi. Anjing menggonggong
tak henti pertanda si anjing melihat hantu.
Keluar
dari selimut, dia mengucek-ngucek mata dan mengusap muka. Dihidupkan lagi
laptop. Terdengar suara hujan menderas dan gemuruh bersahutan. ‘Sesuatu’ itu
telah dia dapatkan. Dan mulai menulis,
Malam, Gelap, Hujan, Dingin,
Sendiri, Sedih, Lelah, Takut, Ngeri, Senyap, .....Mimpi....
Ketikannya
terhenti, terkejut oleh getaran HP. Ada sms masuk.
Ya Allah,
di larut malam ini aku mohon ampuni
dosa-dosaku
tunjuki
aku jalanMu yang benar.
Bimbinglah gerak hati dan langkahku.
Berikan aku kemampuan membimbing gadis
yang sedang berselimut ini,
Agar kelak pandai membaca realita
kehidupan dengan bijak. Amiin.
“Hah?
Gadis yang sedang berselimut?”
Khawatir
do’a itu salah sasaran, dia bergegas menyingkirkan laptop dan menyambar selimut.
Kini, dia berbaring dalam selimutnya.
Amiin... dia
membatin dengan sungguh. Senyum mekar di bibirnya sambil memejamkan mata.
27
Agustus 2013
Restiana Nurman, mahasiswi Universitas Negeri Padang yang giat menulis cerpen, dan kini menjadi reporter Inioke.com