Alee Kitonanma
Ilustrasi: devianart.com |
Karena sudah terlalu kebelet buang air kecil, Runi mendadak menghentikan sepeda mini dengan keranjang kecil di depannya. Tanpa pikir panjang, Runi langsung merebahkan sepedanya di pinggir jalan. Beberapa temannya yang juga baru pulang sekolah dan menempuh jalan itu heran melihat sikap tergesa-gesa Runi yang kemudian berlari menuju semak. Beberapa orang berteriak memanggil Runi, sembari mereka terus saja berlalu.
Runi menoleh kiri dan kanan sesampainya di semak yang tidak terlalu rimbun. Sementara kedua tangannya sibuk menjangkau celana dalam dari bawah rok biru seragam es-em-pe-nya. Setelah celana dalam putih berbunga matahari itu berhasil ia tarik hingga selutut, Runi maju beberapa langkah pendek hingga sampai di bawah pohon bambu. Baru mulai jongkok, mendadak seekor ular hitam sebesar dua jari muncul di celah-celah pohon bambu. Tepat di hadapan Runi.
Sesak di perut bagian bawahnya sudah bercampur kaget dan takut bukan kepalang. Tanpa pikir panjang Runi langsung berdiri dan mundur. Ia menarik kembali celana dalamnya yang sudah basah kuyup karena air kencingnya keluar tak teratur. Teriakan Runi yang sangat keras membuat beberapa siswa menghentikan sepeda, lalu berhamburan menuju semak di pinggir jalan itu.
Runi kemudian diantar dan dibonceng pulang oleh teman-temannya. Di rumah, ia kemudian menceritakan hal yang menimpa dirinya kepada Basirun, ayahnya. Namun bukan belas kasihan dan manja yang ia dapat, malah bentakan yang ia terima. Runi terisak di pundak ibunya.
"Sudah berapa kali Ayah bilang, jangan Kau dekati setiap rumpun bambu di kampung ini. Kalau sesuatu terjadi padamu, kami tidak akan sanggup membawamu ke dokter. Apa Kau tidak mengerti juga," suara Basirun terdengar tegas.
Setelah ayahnya keluar, Runi dipeluk Milun, ibunya. Sepertinya Milun tau betul galau hati anak satu-satunya itu. Tangis Runi pun semakin menjadi.
"Sudahlah, ayahmu begitu karena ia sangat sayang padamu, Nak. Ia amat cemas kalau Kau mendekati batang bambu. Berbahaya, Nak. Kau anak kami satu-satunya. Kalau sesuatu terjadi padamu, kami tidak tahu harus berbuat apa," kata Milun mengulang nasehat Basirun dengan nada lunak sambil mengusap kepala anaknya lembut.
"Ayah dan Ibu selalu bilang bahaya, bahaya, dan bahaya. Memangnya setiap pohon bambu itu ada ularnya, Bu?," Runi mulai berhenti menangis sambil mengangkat kepala dari pundak ibunya.
"Bukan, tapi keramat batang bambu diyakini asal-usul dari Putri Pinang Gading, sampai sekarang masih menjadi legenda di daerah kita, dan sebagian orang masih menganggapnya keramat," jawab Milun.
"Keramat batang bambu? Runi jadi semakin bingung," kata Runi mengerutkan dahi dan fokus menatap mata ibunya.
"Menurut cerita, nama kampung kita ini dulunya diberi nama Belantu, yang diambil dari kata bolu dan antu, yang artinya bambu beracun. Semakin lama, kemudian baru berubah nama menjadi Membalong, nama yang sampai sekarang masih melekat menjadi nama kecamatan kita ini," papar Milun.
"Lalu, hubungannya dengan Putri Pinang Gading yang Ibu ceritakan tadi?" Tanya Runi tidak puas.
Dahulu kala sepasang suami isteri pernah tinggal di sini. Mereka adalah Inda dan Tumina. Kehidupan mereka sangat sederhana sekali, dan mereka tidak memiliki seorang anak pun. Untuk kebutuhan makan, mereka menanam padi di ladang dan menangkap ikan di laut. Kalau air sedang pasang, mereka memasang jaring di pinggir pantai, maka, kalau air sudah surut, ikan-ikan akan menyangkut di jaring-jaring tersebut.
Suatu hari, musim panen dan air surut datang bersamaan. Inda dan Tumina membuat kesepakatan untuk berbagi kerja. Inda memeriksa jaring ke tepi laut, Tumina turun ke ladang untuk memanen padi. Dalam perjalanannya menuju tepi laut, Inda terus bersiul-siul sepanjang jalan. Ia tampak riang karena musim panen dan air surut bersamaan harinya. Ia akan mendapat untung yang banyak, begitu dalam pikirannya.
Tanpa disadari Inda, sepotong bambu hampir saja membuatnya terjatuh. Bambu itu melintang dihadapan kakinya. Agar tidak menciderai sesiapa lagi, Inda kemudian melempar bambu itu ke laut, hingga dibawa air yang sedang surut ke tengah laut. Sesampainya di jaring yang ia pasang beberapa hari yang lalu, Inda kemudian melihat banyak ikan yang menyangkut di jaringnya. Ia gembira sekali.
Saat badannya akan mulai merukuk mengumpulkan ikan, Inda kembali tersandung sepotong bambu. Ia terkejut, karena bentuk bambu itu serupa dangan bentuk bambu yang ia lempar ke tengah laut tadi. Ruas, panjang, warna, dan ukuran, semuanya sama. Ia berpikir, bagaimana bisa bambu itu kembali lagi, sementara air telah surut jauh. Angin tentu tidak akan mampu menerbangkan bambu seberat itu. Lagi-lagi Inda membuangnya ke laut, kali ini ia lempar sekuat tenaga dan bambu itu melayang lebih jauh. Terseret dibawa ombak ke tengah laut.
Ikan terkumpul banyak, Inda kebingungan membawa hasil jeratnya. Tiba-tiba di hadapannya bambu yang ia lempar ke tengah laut tadi muncul lagi. Berarti bambu ini minta dipergunakan, begitu pikirnya. Tanpa lama mempertimbangkan, Inda menjadikan bambu tersebut untuk memikul ikan yang telah ia susun di tali.
Singkat cerita, di rumah, isterinya pun mempergunakan bambu itu sebagai penjemur kain. Suatu ketika, bambu itu pecah, dari dalam memancarkan sinar yang berkilauan. Seorang anak bayi menangis di sana. Inda dan Tumina berkejaran mengambil anak itu. Tumina kemudian berusaha menenangkan anak itu dengan nyanyiannya; "Anakku sayang, anak kandungku. Anak kandung sibiran tulang, obat jerih pelerai demam." Bayi perempuan itu kemudian tertidur, Inda dan Tumina senang bukan kepalang.
Mereka kemudian menjadikan anak itu sebagai anak mereka, dan memberi nama Putri Pinang Gading. Di usia 15 tahun, Putri Pinang Gading sudah mahir memanah atas ajaran Inda. Hampir setiap hari ia pergi ke hutan dan membawa tangkapan. Kehidupan Inda dan Tumina menjadi lebih baik.
Suatu hari, terdengar kabar, di Kampung Kelekak Remban terjadi penyerangan oleh burung yang besar. Oleh masyarakat Kelekak Remban, burung itu disebut Burung Gerude. Burung itu tinggal di sebelah timur daerah Ranau. Burung tersebut sangat buas. Ia menghancurkan penduduk Kelekak Remban. Bahkan telah menelan seorang warga. Seluruh penduduk Kelekak Remban takut akan burung raksasa tersebut. Tidak seorang pun warga yang berani keluar rumah dibuatnya.
Putri Pinang Gading minta izin pada orang tuanya untuk membantu warga Kelekak Remban. Dengan berat orang tuanya mengizinkan. Sesampainya di sana, Putri Pinang Gading mencari tempat yang tepat untuk memanah burung itu. Ia kemudian menyiapkan diri dan anak panahnya yang sudah dibubuhi racun di atas sebuah pohon. Ketika burung gerude lengah, Runi kemudian memanahkan anak panahnya tepat di dada burung, hingga jatuh dan terkapar.
Warga pun berlari keluar untuk menyaksikan kematian burung gerude yang menakutkan mereka. Warga kemudian mengadakan pesta sebagai sukuran, dan mengundang Putri Pinang Gading.
Konon tempat burung gerude jatuh itu menjadi tujuh buah anak sungai, sedangkan anak panah yang Putri Pinang Gading yang mematikan burung gerude tumbuh menjadi serumpun bambu. Suatu saat seorang pemancing memotong bambu itu untuk dijadikan joran. Tanpa sengaja tangan pemancing itu tersayat sembilu bambu dan langsung meninggal.
"Lalu, apa semua orang percaya akan cerita itu, Bu? Runi lihat, orang-orang di kampung ini biasa saja menebang dan menggunakan bambu untuk di jadikan joran pancing, pagar halaman, tonggak bendera, anyaman, dan banyak keperluan lainnya. Kenapa Ayah dan Ibu melarang Runi dekat-dekat pohon bambu? Itu artinya Ibu dan Ayah belum berpikiran modern dan percaya pada tahayul. Dosa lho, Bu, kan termasuk syirik," Runi merespon cerita ibunya, membandingkan dengan ilmu yang ia peroleh di sekolah.
"Bukannya syirik, Nak. Kami hanya takut jika terjadi sesuatu padamu nanti. Itu makanya Ayahmu sangat marah tadi ketika tahu Kau dekati pohon bambu. Tidak ada salahnya kan kami cemas seperti itu? Dan tidak ada salahnya pula kan, kalau Kau tidak mendekati pohon bambu itu lagi," kata Milun lembut seperti meminta, yang membuat haru di dada Runi, ketika sadar, orang tuanya begitu sayang padanya. Sesaat, Runi mengangguk, lalu memeluk tubuh ibunya yang tidak terlalu besar dari tubuhnya.
Siang kemudian beranjak. Malam hadir membawa bulan redup di Membalong. Hingga seperempat malam, masih terdengar hiruk-pikuk para bapak dan bujang di kedai kopi. Pertengahan malam, suasana mulai sunyi, jalan telah lengang. Tidak seorang pun tampak berjalan lagi. Lampu-lampu rumah pun sudah dimatikan warga. Runi membawa legenda yang diceritakan ibunya tadi siang ke dalam mimpi. Larut.
Jam 02 dini hari, terdengar pekikan keras dari sebuah rumah yang tidak jauh dari tempat tinggal Runi dan keluarganya. Para warga yang tersentak berhamburan ke luar. Pemuda di pos ronda yang sedari tadi tertidur pulas tidak ketinggalan.
"Ini sudah yang ketiga kalinya. Masih uang juga yang hilang. Tidak bisa dibiarkan, kita harus bertindak," sorak seorang pemuda. Yang lain kemudian menyusul dengan teriakan yang lebih keras untuk mengiyakan.
Ketua RW kemudian membagi kelompok untuk berpencar. Pencarian pun dimulai. Semua lelaki yang dirasa cukup umur dilibatkan. Hingga Subuh menjelang, pencarian tidak menghasilkan apa-apa. Orang-orang pada pulang. Ada juga yang langsung ke mushola.
Pagi warga dikejutkan penemuan lobang-lobang aneh di pinggir jalan, pada lokasi yang berbeda. Lobang itu hanya seukuran tubuh manusia dewasa. Di dalamnya tampak bambu ditanam tersusun rapi. Runcing. Darah segar mengalir hampir di setiap bambu. Namun tiada sesiapa di dalamnya. Begitu pun kondisi di lobang lainnya.
Warga semakin gempar, tujuh mayat ditemukan dalam sungai yang berbeda. Diduga, mereka adalah lelaki yang terjebak di dalam tujuh lobang berbambu runcing, karena ada bekas lobang-lobang di tubuh mereka.
Tak terhitung jumlah orang yang hadir melihat peristiwa janggal itu. Masyarakat dari daerah luar pun berduyun-duyun datang ingin menyaksikan kejadian. Polisi di sana-sini sibuk mencari tanda-tanda. Lengkap dengan anjing pelacaknya.
Jauh dari keramaian, di bawah pohon bambu, dekat sebuah semak yang tidak terlalu rimbun, Milun dan Basirun menangis terisak.
"Kita harus merelakannya, Pak. Barangkali benar mimpi itu, dulu kita menemukannya di bawah pohon bambu ini, sekarang ia pun telah kembali ke asalnya, dengan meninggalkan baju ini dan kenangan untuk kita," suara perempuan paruh baya terdengar lunak, sambil terus terisak di lengan suaminya. Sesaat, kembali dalam ingatan mereka, ketika menemukan Runi yang masih merah terbungkus adalam kardus mi di bawah pohon bambu itu, belasan tahun lalu.
Mereka kemudian berbimbingan meninggalkan tempat sunyi itu, membawa pulang baju anak mereka yang hilang, dan sepeda mini berkeranjang kecil di depannya mereka dapatkan tergeletak di dekat pohon bambu. (***)
*Kisah ini diceritakan ulang dari salah satu legenda di Pulau Belitung, dengan judul aslinya Putri Pinang Gading, dengan cara menyadur dan disesuaikan dengan sudut pandang kekinian. Cerita ini diikutkan dalam sayembara penulisan ulang cerita rakyat Belitung pada tahun 2012, dan berhasil mendapatkan peringkat 1. Cerita ini kemudian dibukukan, yang terangkum dalam antologi "Kelingking Putri Bambu"
Alee
Kitonanma sebagai nama pena. Memiliki nama asli Alex Sander, lahir 8 November
1985 di Kotobaru Simalanggang, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota,
Sumatera Barat. Menulis cerpen, puisi, artikel, dan berita. Bekerja sebagai
reporter di Harian Pagi Tribun Pekanbaru (Kompas Gramedia). Selain di media
massa, karyanya terangkum dalam antologi, Ibu yang Menyusukan Anaknya di Bulan
(Dinas Pariwisata Sumbar, 2010), Kumpulan Puisi Kelopak Bunga Jantung (TIB
Press, 2010), Karena Aku tak Lahir dari Batu (Sastra Welang Publisher, Bali,
2011), Kelingking Putri Bambu (Belitung Press, 2012), dan sejumlah antologi
lainnya. Sedang mempersiapkan buku perdananya, Kleptomiyabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar