Bagus Ary Wicaksono
Pada ujung tanjakan,
ternyata bukan baduy, baju mereka berbeda. Perempuan ini meski berbaju hitam,
namun ada batik diantaranya bawahannya. Kepala mereka terlilit kain batik pula,
yang dililit sedemikian rupa melingkari kepala..Mereka merupakan kelompok
seniman angklung gubrag dari Cipining.
Ada sekitar enam
perempuan memainkan angklung, dipimpin satu perempuan pembawa kendang panjang.
Dalam tradisi aslinya, angklung gubrag ini dimainkan ketika musim menanam padi
saja.setiap lengkungan bunyi bambu bertala, diimbangi dengan hentakan kendang
si pemimpin. Wisatawan berhenti, mereka memotret, obyeknya semakin bersemangat
menggoyangkan bambu bertala itu.
Angklung mereka juga
sama seperti di derah Jawa Barat lainnya, di ujungnya terdapat empat ikatan
batang padi. Usai mendapat sambutan meriah dari para seniman angklung gubrag,
wisatawan cukup menempuh jarak sekitar 200 meter menuju pintu masuk kawasan
Kampung Adat Sindangbarang.
Kawasan seluas sekitar
8.600 meter persegi disulap menjadi kampung kuno. Ditandai dengan
struktur dan bangunan tradisional sunda, sesuai gambaran dalam naskah
Pantun Bogor. Bangunan dan struktur tersebut berderet rapi membentuk huruf U.
Areal kosong ditengah huruf, difungsikan sebagai alun-alun. Lesung penumbuk
padi, ditempatkan dekat pintu masuk dibawah bangunan tanpa tembok. Secara
berjajar berdiri enam Leuit atau disebut sebagai lumbung padi.
Terdapat pula rumah
adat untuk kokolot (tetua) berupa Girang Serat. Termasuk membangun balai
pangriungan (balai pertemuan), saung lisung yang difungsikan untuk pesanggrahan
tamu. Adapun yang paling menonjol adalah Imah Gede, ini bangunan utama yang ditempati
Pupuhu (kepala Kampung Adat Sindangbarang Maki Sumawijaya.
Rumah kepala adat
tersebut, menyesuaikan dengan strata sosialnya. Di kampung itu, Imah Gede
ditempatkan di lokasi paling strategis, Imah berada di tanah yang lebih tinggi.
Ketika sang Pupuhu duduk di teras Imah, maka seluruh kawasan berada dalam
jangkauan matanya. Alun-alun berfungsi pula untuk pertunjukan kolosal.
Dalam durasi pendek,
pertunjukan selanjutnya adalah seni silat. Pagelaran dimulai, ketika nayaga
(seniman gamelan) mulai memainkan Kidung Rahayu. Durasi kidung untuk
penyambutan tamu itu, berlangsung sekitar lima menit.
Sementara itu, sepasang
pesilat laki-laki dan perempuan sudah siap turun ke areal pertunjukan.
Bergantian, pesilat perempuan, Ning Vera, mempertontonkan silat pengembangan
Cimande dari Mulyaharja, yakni tepak dua. Gerakan perpindahan kaki selalu
diikuti dengung gong dan kendang. Silat lebih agresif ditunjukkan oleh pesilat
laki-laki, Ari, dengan tepak tujuh.
Meski berbeda jurus,
kedua gerakan pesilat itu, tetap mengikuti gendang pencak. Terdiri dari gong,
Kemprang (kendang laki-laki) dan Gedug (kendang perempuan). Pemain
Kemprang memainkan pula dua kendang kecil yang disebut Kulanter.
Sedangkan pemain Gedug hanya dilengkapi satu Kulanter.
Yang mengendalikan
ansambel tersebut, adalah tiupan terompet Yas Sasmita asal Mulyaharja. Terompet
ini sama dengan torempet reog Ponorogo. Peniup terompet dan rombongannya,
datang ke Sindangbarang sesuai panggilan pengelola, ketika wisatawan tiba.
Termasuk juga mengiringi Silat Cimande yang kemudian disajikan Kokolot
Sindangbarang Ukut Sukatma dan satu pesilat lain.
Silat Cimande, biasanya
dimainkan dalam tradisi pernikahan orang Sunda. Pesilat dari pihak pengantin
laki-laki datang menggendong dandang penanak nasi. Dandang itu yang harus
ditendang hingga jatuh oleh pesilat pihak calon pengantin perempuan.
Foto-foto: Agus Ary Wicaksono |
Ritual untuk pengantin
inipun juga berasal dari pergeseran tradisi. Sebab, pada masa Kerajaan
Pajajaran, Cimande dipakai untuk adu Jaken para petarung. Pada perkembangan
terkini, juga sekedar hiburan wisatawan.
Meski sudah menjadi kitsch, yang patut diapresiasi adalah
para pesilatnya. Mereka tetap mempertahankan tradisi lama. Apapun acaranya,
Silat Cimande harus dimainkan sungguhan. Tiada drama dalam silat itu, tendangan
diberikan keras, namun tak boleh mengenai bagian tubuh atas, hanya boleh tangan
dan kaki.
Sajian seni budaya
tersebut, mulai dari angklung gubrag, silat tepak dua, silat tepak tujuh
dan silat Cimande, adalah kemasan untuk kampung adat. Yang haram adalah, seni
tersebut hanya menjadi pemanis revitalisasi kampung adat. Maka dari itu, fungsi
angklung gubrag dalam kerangka seni tradisi sebagai ritual harus tetap
dikerjakan.
Sebab fungsi kampung
adat, tak sekedar sebagai tempat suguhan budaya, melainkan untuk motor budaya kuno
dalam kutub pemikiran. Tiada yang salah dalam hal benda budaya yang mereka
mainkan dan kenakan. Hanya saja, seniman
tak lagi memainkan ansambel untuk benih padi, tapi untuk manusia. Sesuai
tradisi lama, seharusnya musik itu hanya dimainkan pada saat musim tanam padi.
Seharusnya ditandai pula dengan ritus Pupuhu yang memberi ajimat atau doa pada
benih pertama.
Dominasi persawahan di
kawasan tersebut memang menunjukkan identitas masyarakat Sindangbarang,
mayoritas bergerak di sektor agraris. Tak heran masyarakat memiliki budaya
angklung gubrag, sebagai ritual tanam padi perdana agar panen melimpah. Tapi
kini, nampaknya komoditasnya sudah berbeda, tak lagi padi, melainkan manusia.
Pertunjukan seni
tradisi yang ditampilkan di Kampung Adat Sindangbarang Desa Pasir Eurih
Kecamatan Tamansari Bogor, mulai membias dari esensi budaya itu sendiri. Hal
tersebut nampak dari sajian angklung gubrag maupun seni silat Cimande yang
dipertontonkan kepada pengunjung. Pertunjukan tersebut, sekedar penunjang
keberadaan kampung proyek revitalisasi itu.
Muncul kekhawatiran,
sajian angklung gubrag dan seni silat di tempat itu, hanya sekedar pemanis
revitalisasi kampung. Seni itu menjadi kitsch (baca, sekedar kemasan) semata.
Dipertontonkan, sekedar mengikuti keterbatasan waktu para wisatawan.
Terlepas dari adanya
revitalisasi, memang ada bukti material Sindangbarang adalah kampung adat
tertua dan bagian Kerajaan Pajajaran. Ditandai dengan keberadaan sejumlah situs
penting. Sebut saja, Taman Sri Baginda dan Sumur Jalatunda yang berada di
Jalan Kapten Yusuf.
Meminjam istilah
Adorno, kitsch adalah fenomena industri budaya (culture
industry), seni diposisikan sebagai karya yang dibuat dan dikendalikan oleh
kebutuhan pasar. Pasarlah yang menentukan apa yang disebut seni. Masyarakat hanyalah
konsumen yang pasif menerima definisi itu.
Yang pasti, kearifan
lokal, bukanlah sekedar tontonan namun juga memiliki nilai kebudayaan. Budaya
juga bukan hanya sekedar merestorasi bangunan masa lalu. Akan tetapi, budaya
adalah tetap menjalankan nilai adiluhung warisan leluhur. Perlu kembali kepada
kearifan lokal agar kitsch tidak menguasai
Sindangbarang. Hal ini dikembalikan kepada kesadaran budaya masyarakat
Sindangbarang masing-masing.
Bagus Ary Wicaksono, penggiat aktivitas alam bebas
yang menjadi pewarta di Harian Malang Post
Tidak ada komentar:
Posting Komentar