Minggu, 04 Agustus 2013

Kitsch di Kampung Adat Sindangbarang



Bagus Ary Wicaksono



Dari perhentian bus nampak tujuh perempuan berpakaian hitam berjajar memagari jalan, seperti orang Baduy. Tak berapa lama, telinga mendengar musim ansambel, merdu seperti calung.Wisatawan yang turun dari bus, langsung bergegas, menyusuri jalan berbatu yang menanjak, Semakin mendekat, ternyata barisan ibu-ibu itu memainkan angklung dan kendang, namanya angklung gubrag.

Pada ujung tanjakan, ternyata bukan baduy, baju mereka berbeda. Perempuan ini meski berbaju hitam, namun ada batik diantaranya bawahannya. Kepala mereka terlilit kain batik pula, yang dililit sedemikian rupa melingkari kepala..Mereka merupakan kelompok seniman angklung gubrag dari Cipining.

Ada sekitar enam perempuan memainkan angklung, dipimpin satu perempuan pembawa kendang panjang. Dalam tradisi aslinya, angklung gubrag ini dimainkan ketika musim menanam padi saja.setiap lengkungan bunyi bambu bertala, diimbangi dengan hentakan kendang si pemimpin. Wisatawan berhenti, mereka memotret, obyeknya semakin bersemangat menggoyangkan bambu bertala itu.

Angklung mereka juga sama seperti di derah Jawa Barat lainnya, di ujungnya terdapat empat ikatan batang padi. Usai mendapat sambutan meriah dari para seniman angklung gubrag, wisatawan cukup menempuh jarak sekitar 200 meter menuju pintu masuk kawasan Kampung Adat Sindangbarang.

Kawasan seluas sekitar 8.600 meter persegi disulap menjadi kampung kuno. Ditandai dengan struktur  dan bangunan tradisional sunda, sesuai gambaran dalam naskah Pantun Bogor. Bangunan dan struktur tersebut berderet rapi membentuk huruf U. Areal kosong ditengah huruf, difungsikan sebagai alun-alun. Lesung penumbuk padi, ditempatkan dekat pintu masuk dibawah bangunan tanpa tembok. Secara berjajar berdiri enam Leuit atau disebut sebagai lumbung padi.

Terdapat pula rumah adat untuk kokolot (tetua) berupa Girang Serat. Termasuk membangun balai pangriungan (balai pertemuan), saung lisung yang difungsikan untuk pesanggrahan tamu. Adapun yang paling menonjol adalah Imah Gede, ini bangunan utama yang ditempati Pupuhu (kepala Kampung Adat Sindangbarang Maki Sumawijaya.

Rumah kepala adat tersebut, menyesuaikan dengan strata sosialnya. Di kampung itu, Imah Gede ditempatkan di lokasi paling strategis, Imah berada di tanah yang lebih tinggi. Ketika sang Pupuhu duduk di teras Imah, maka seluruh kawasan berada dalam jangkauan matanya. Alun-alun berfungsi  pula untuk pertunjukan kolosal.

Dalam durasi pendek, pertunjukan selanjutnya adalah seni silat. Pagelaran dimulai, ketika nayaga (seniman gamelan) mulai memainkan Kidung Rahayu. Durasi kidung untuk penyambutan tamu itu, berlangsung sekitar lima menit.

Sementara itu, sepasang pesilat laki-laki dan perempuan sudah siap turun ke areal pertunjukan. Bergantian, pesilat perempuan, Ning Vera, mempertontonkan silat pengembangan Cimande dari Mulyaharja, yakni tepak dua. Gerakan perpindahan kaki selalu diikuti dengung gong dan kendang. Silat lebih agresif ditunjukkan oleh pesilat laki-laki, Ari, dengan tepak tujuh.

Meski berbeda jurus, kedua gerakan pesilat itu, tetap mengikuti gendang pencak. Terdiri dari gong, Kemprang (kendang laki-laki) dan Gedug (kendang perempuan). Pemain Kemprang  memainkan pula dua kendang kecil yang disebut Kulanter. Sedangkan pemain Gedug hanya dilengkapi satu Kulanter.

Yang mengendalikan ansambel tersebut, adalah tiupan terompet Yas Sasmita asal Mulyaharja. Terompet ini sama dengan torempet reog Ponorogo. Peniup terompet dan rombongannya, datang ke Sindangbarang sesuai panggilan pengelola, ketika wisatawan tiba. Termasuk juga mengiringi Silat Cimande yang kemudian disajikan Kokolot Sindangbarang Ukut Sukatma dan satu pesilat lain.

Silat Cimande, biasanya dimainkan dalam tradisi pernikahan orang Sunda. Pesilat dari pihak pengantin laki-laki datang menggendong dandang penanak nasi. Dandang itu yang harus ditendang hingga jatuh oleh pesilat pihak calon pengantin perempuan.






Foto-foto: Agus Ary Wicaksono


Ritual untuk pengantin inipun juga berasal dari pergeseran tradisi. Sebab, pada masa Kerajaan Pajajaran, Cimande dipakai untuk adu Jaken para petarung. Pada perkembangan terkini, juga sekedar hiburan wisatawan.

Meski sudah menjadi kitsch, yang patut diapresiasi adalah para pesilatnya. Mereka tetap mempertahankan tradisi lama. Apapun acaranya, Silat Cimande harus dimainkan sungguhan. Tiada drama dalam silat itu, tendangan diberikan keras, namun tak boleh mengenai bagian tubuh atas, hanya boleh tangan dan kaki.

Sajian seni budaya tersebut,  mulai dari angklung gubrag, silat tepak dua, silat tepak tujuh dan silat Cimande, adalah kemasan untuk kampung adat. Yang haram adalah, seni tersebut hanya menjadi pemanis revitalisasi kampung adat. Maka dari itu, fungsi angklung gubrag dalam kerangka seni tradisi sebagai ritual harus tetap dikerjakan.

Sebab fungsi kampung adat, tak sekedar sebagai tempat suguhan budaya, melainkan untuk motor budaya kuno dalam kutub pemikiran. Tiada yang salah dalam hal benda budaya yang mereka mainkan dan kenakan. Hanya saja, seniman tak lagi memainkan ansambel untuk benih padi, tapi untuk manusia. Sesuai tradisi lama, seharusnya musik itu hanya dimainkan pada saat musim tanam padi. Seharusnya ditandai pula dengan ritus Pupuhu yang memberi ajimat atau doa pada benih pertama.

Dominasi persawahan di kawasan tersebut memang menunjukkan identitas masyarakat Sindangbarang, mayoritas bergerak di sektor agraris. Tak heran masyarakat memiliki budaya angklung gubrag, sebagai ritual tanam padi perdana agar panen melimpah. Tapi kini, nampaknya komoditasnya sudah berbeda, tak lagi padi, melainkan manusia.

Pertunjukan seni tradisi yang ditampilkan di Kampung Adat Sindangbarang Desa Pasir Eurih Kecamatan Tamansari Bogor, mulai membias dari esensi budaya itu sendiri. Hal tersebut nampak dari sajian angklung gubrag maupun seni silat Cimande yang dipertontonkan kepada pengunjung. Pertunjukan tersebut, sekedar penunjang keberadaan kampung proyek revitalisasi itu.

Muncul kekhawatiran, sajian angklung gubrag dan seni silat di tempat itu, hanya sekedar pemanis revitalisasi kampung. Seni itu menjadi kitsch (baca, sekedar kemasan) semata. Dipertontonkan, sekedar mengikuti keterbatasan waktu para wisatawan.

Terlepas dari adanya revitalisasi, memang ada bukti material Sindangbarang adalah kampung adat tertua dan bagian Kerajaan Pajajaran. Ditandai dengan keberadaan sejumlah situs penting.  Sebut saja, Taman Sri Baginda dan Sumur Jalatunda yang berada di Jalan Kapten Yusuf. 

Meminjam istilah Adorno, kitsch adalah fenomena industri budaya (culture industry), seni diposisikan sebagai karya yang dibuat dan dikendalikan oleh kebutuhan pasar. Pasarlah yang menentukan apa yang disebut seni. Masyarakat hanyalah konsumen yang pasif menerima definisi itu.
Yang pasti, kearifan lokal, bukanlah sekedar tontonan namun juga memiliki nilai kebudayaan. Budaya juga bukan hanya sekedar merestorasi bangunan masa lalu. Akan tetapi, budaya adalah tetap menjalankan nilai adiluhung warisan leluhur. Perlu kembali kepada kearifan lokal agar kitsch tidak menguasai Sindangbarang. Hal ini dikembalikan kepada kesadaran budaya masyarakat Sindangbarang masing-masing.





Bagus Ary Wicaksono, penggiat aktivitas alam bebas
yang menjadi pewarta di Harian Malang Post
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar