Dewa Made Karang Mahardika
Sebuah bangsa pasti menaruh sekarung
harapan di pundak para pemudanya, untuk melestarikan budaya yang kian hari
makin menghilang diuji zaman. Tinggal saja, bagaimana pemuda-pemuda itu
menyikapinya: sebagai sebuah kerelaan atau beban yang memegalkan pundaknya.
Kearifan Lokal Versus Lady Gaga
Leluhur masyarakat Pagaralam di Sumatera Selatan mewariskan banyak kearifan
lokal yang tersurat dalam seni tutur Besemah dan rerantingnya. Lihatlah, tutur
dalam Tangis Ayam atau Berimbai, menjadi cermin bagaimana sebuah individu dapat
berbagi kesedihan dan kepedihan bersama kolektifnya, mengajarkan kebersamaan
yang kini banyak ditinggalkan. Lalu melalui Geguritan, seni tutur mengajak
masyarakat mentauladani semangat heroisme pejuang-pejuang kemerdekaan melalui
nada dan syair.
Kemudian, selain agama, moral masyarakat terbentuk oleh baik dan buruk yang
ditentukan oleh mayoritas dalam bentuk norma-norma yang termedia dalam pelbagai
bentuk. Syiar agama merupakan panduan sejati untuk menghapus dekadensi
imoralitas yang kian merangsek. Seni tutur Tadut, menjadi salah sekian pilihan syiar
yang layak untuk dikembangkan, karena, selain kearifan yang lekat dengan
masyarakat lokal, ia juga mempersuasi dengan gaya bahasa yang dekat dengan keseharian
masyarakat.
Mempertahankan petuah dalam bentuk cerita yang dituturkan pada zaman
seperti sekarang ini membuat kita skeptis. Masyarakat khususnya muda-mudi dunia
modern, adalah mereka yang hidup dalam bayang-bayang konsumerisme yang membuat
imej—sahabat karib gengsi—menjadi sesuatu yang didamba di era kapitalistik
seperti saat ini. Degup house music
orgen tunggal dan penampilan band-band alay
lebih menyita perhatian paramuda. Dan ini lumrah terjadi di dunia tontotan
dengan embel-embel kultur popnya. Ketradisionalan dinilai sebagai sesuatu yang
ketinggalan zaman dan tidak bergengsi. Mendengar seni tutur akan dianggap kalah
gengsi dibanding mendengar Lady Gaga atau grup musik Noah—sebuah kondisi yang menimbulkan
tanya; naif atau tidakkah memaksa kaum muda untuk kembali ke khasanah kesenian
peninggalan para pendahulunya.
Berdamai
dengan Arus Pop
Menjadikan kesenian tradisional bagian dari mata pelajaran di sekolah
ternyata tidak terbukti mujarab. Peserta didik tidak mengapresiasinya secara
sadar, tetapi lebih karena kewajiban yang melelahkan jiwa. Contoh yang tidak
jauh berbeda adalah ketika pemerintah coba mempopulerkan lagu tradisional Irian
Jaya Sajojo melalui senam irama yang wajib diterapkan di sekolah dan
instansi-instansi. Semangatnya sempat terasa cukup lama, walau lambat laun juga
mulai hilang dari ingatan. Inilah yang terjadi bila seni budaya diapresiasi
melalui sistem indoktrinasi, bukan karena kesadaran yang timbul dari kesukaan.
Karena hakekatnya, seni tidak bisa dilepaskan dari dunia entertain, sesuatu
yang menghibur.
Di era penyebaran Islam di Pulau Jawa sekian abad lampau, Sembilan Wali
menggunakan metode dakwah dengan cara merasup ke dalam lokalitas, memasukkan
unsur-unsur islami melalui kesenian masyarakat yang masih terpengaruh
kebudayaan Hindu termasuk seni perwayangan. Kiat ini sangat relevan juga
terbukti ampuh, dikarenakan kondisi sebagian besar masyarakat pada waktu itu
yang buta aksara sehingga hanya mampu menangkap informasi secara verbal dan
visual.
Konsep yang digunakan Sembilan Wali ini bisa dijadikan teladan untuk
melestarikan seni tutur Besemah. Cara yang mungkin adalah, dengan mengemas seni
tutur menjadi lebih pop—mengombinasinya dengan unsur-unsur modernitas—tanpa
menghilangkan akar budaya dan pesan yang ingin disampaikan. Sehingga seni tutur
akan mencapai keidealannya sebagai sebuah pesan: diterima, dan diaplikasikan oleh
penerimanya.
Di era sekarang, masyarakat menggemari televisi. Tren apapun bisa tercipta
dari media satu ini. Menayangkan ketoprak, lenong, seni wayang orang modern dan
atau persindenan di televisi, merupakan
langkah konkret yang terbukti cukup sukses membuat khalayak mengenal dan
mengingat kesenian-kesenian tradisional. Popularitas juga merupakan hal yang tidak
kalah penting. Menggaet kalangan selebritas yang menjadi idola banyak orang
untuk mempopulerkan seni tutur bisa menjadi salah satu cara yang patut dicoba,
meski tentu saja dengan pembiayaan yang tidak sedikit. Biarlah industri media
yang mengemasnya sedemikian rupa, bahkan meski untuk masuk ke dalam situ mesti
melunturkan idealisme, karena bisa apa kita selagi belum memiliki alternatif
yang tepat?
Merunut apa yang pernah dikatakan oleh aktivis gerakan antiseni Dada, Guy
Debord, dunia spektakuler memisahkan penonton (khalayak) dan apa yang ditonton
(seni) oleh keberadaan panggung (media). Tidak ada interaksi dan komunikasi di
antara keduanya, berimplikasi pada kepasifan publik. Upaya melestarikan seni
tutur dapat berkaca dari sini, yakni
dapat lebih interaktif tidak sebatas di panggung pertunjukkan even festival
seni budaya daerah, tapi pasca dari itu, melalui berbagai kampanye masif yang
melibatkan gugus seniman, media, pemerintah bahkan masyarakat itu sendiri.
Apa yang dikatakan oleh ahli strategi dari negeri Cina, Tsunzu, ada
benarnya bahwa bertahan adalah awal dari kekalahan. Untuk meregenerasi sebuah seni
dan budaya, harus sudah melampaui upaya tahan-pertahankannya yang sudah
seringkali dilakukan. Benteng pertahanan penggiat seni tutur—yang bertahan
dengan kuantitas yang semakin menyurut—akan rontok bila tidak segera melakukan
‘serangan’ menembus kultur pop, dengan membalik sisi hulu menjadi sisi hilir:
meningkatkan jumlah penikmat, bukan penggiat. Sehingga—meski belum tentu
berbuah manis—kesemarakkan yang hadir di kalangan penikmat kelak melahirkan
penggiat-penggiat seni tutur Besemah yang baru.
Penulis berdomisili di Kota Palembang, merupakan aktivis skena hardcore punk dan pemerhati youth urban culture—budaya pemuda perkotaan.
Bally's Casino Resort WV - WebJAR
BalasHapusThe Bally's is one of the only casinos in the state to reopen 논산 출장샵 its doors 파주 출장마사지 as 강릉 출장안마 sports betting 파주 출장샵 became available 제주도 출장마사지 Bally's Casino Resort - WV